Berita
Eksklusivisme Agama Ancam Persatuan Bangsa, Inilah Solusi Jitu!
Penulis

Tangerang (BMBPSDM)---Kepala Pusat Penilaian Buku Agama, Lektur, dan Literasi Keagamaan (PBAL2K) Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Sidik Sisdiyanto mengatakan eksklusivisme agama kini mulai jadi ancaman nyata di Indonesia. Sikap tertutup dalam beragama yang menolak perbedaan tidak hanya memicu segregasi sosial, tetapi juga dapat meningkatkan angka kekerasan dengan dasar agama.
“Keragaman merupakan kekuatan yang dimiliki Indonesia. Namun, dalam implementasinya, dinamika ekspresi keberagamaan di era demokrasi seperti sekarang ini terkadang berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik antar masyarakat, antar umat beragama atau bahkan internal umat beragama,” ujarnya.
Hal tersebut disampaikan Kapus PBAL2K Sidik Sisdiyanto dalam kegiatan Pembinaan Dai Nasional dalam Program Sekolah Dai Indonesia di Hotel Siti Tangerang, Kamis (20/2/2025).
Lebih lanjut, Sidik mengungkapkan ada tiga tantangan utama yang dihadapi dalam kehidupan beragama saat ini. Pertama, menguatnya pandangan dan sikap keagamaan eksklusif yang menolak perbedaan dan cenderung menyingkirkan kelompok lain. Kedua, tingginya angka kekerasan berbasis agama akibat pemahaman dan praktik beragama yang ekstrem. Terakhir, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan terhadap NKRI, sehingga memicu potensi konflik di masyarakat.
"Jika dibiarkan, sikap eksklusif ini bisa merusak tatanan sosial dan menciptakan konflik berkepanjangan. Nah, solusinya apa? Ya Moderasi Beragama,” tegas Sidik di hadapan para dai yang hadir dalam kegiatan ini.
“Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Moderasi merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara personal, keluarga, dan masyarakat,” imbuhnya.
Menurut Sidik, moderasi dapat diukur melalui empat indikator yaitu: toleransi, anti kekerasan, komitmen kebangsaan, serta pemahaman dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal atau konteks Indonesia yang multi-kultural dan multi-agama. Untuk itu, keempat indikator tersebut harus selalu dijaga dan dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat sebagai upaya menciptakan kerukunan berbangsa dan bernegara yang berkelanjutan.
Pada kesempatan ini, Sidik juga menyoroti bagaimana radikalisme merambah generasi muda, terutama melalui media sosial dan lingkungan kampus. "Edukasi literasi digital sangat penting untuk membekali masyarakat, terutama generasi muda, agar tidak terpengaruh oleh konten radikal yang bertebaran di internet," ungkapnya.
Terakhir, Sidik merekomendasikan beberapa langkah strategis untuk mengatasi penyebaran radikalisme, seperti mendorong para dai untuk membuat konten dakwah yang menyejukkan, meningkatkan pengawasan dan pendampingan, serta mengadakan edukasi tentang bahaya radikalisme di tengah masyarakat. (Rheka Humanis)
Editor: Abas
Fotografer: Pusat PBAL2K
Terkini

Tak Hanya Ngaji, Kini Santri Juga Jago Konten dan AI: Ini Programnya!
21 Oct 2025
Berita

Langkah Kemenag Wujudkan Asta Cita: dari Jaga Kerukunan untuk Pembangunan hingga Sejahterakan Guru
21 Oct 2025
Berita

Ketika Pesantren Disalahpahami: Tafsir Tunggal di Era Digital
21 Oct 2025
Opini

Hari Santri: Meneguhkan Resolusi Peradaban melalui Moderasi Beragama
20 Oct 2025
Opini

Implementasi Jadi Kunci Agar Kebijakan Memberi Manfaat Nyata
20 Oct 2025
Berita
Berita Lainnya

Tak Hanya Ngaji, Kini Santri Juga Jago Konten dan AI: Ini Programnya!
21 Oct 2025
oleh Halimah Dwi Putri

Langkah Kemenag Wujudkan Asta Cita: dari Jaga Kerukunan untuk Pembangunan hingga Sejahterakan Guru
21 Oct 2025

Implementasi Jadi Kunci Agar Kebijakan Memberi Manfaat Nyata
20 Oct 2025
oleh Bayu Muhardianto

Dari Kampus untuk Indonesia: Gerakan Moral Mahasiswa Jadi Pelopor Moderasi Beragama
19 Oct 2025
oleh Neneng MK dan Rahmi Siregar

Menag: Asia Tenggara Siap Jadi Pusat Peradaban Islam Baru
19 Oct 2025
oleh Humas Kemenag