Memuat...

BMBPSDM Kementerian Agama RI

Memuat halaman...

Layanan Disabilitas

Ukuran Teks

Kontras

Pembaca Teks

Opini

Ketika Pesantren Disalahpahami: Tafsir Tunggal di Era Digital

Selasa, 21 Oktober 2025
Ketika Pesantren Disalahpahami: Tafsir Tunggal di Era Digital
Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan (BDK) Bandung.

Jakarta (BMBPSDM)---Jelang peringatan Hari Santri 22 Oktober 2025, jagat maya kembali riuh. Beberapa peristiwa seputar dunia pesantren menjadi sorotan netizen: mulai dari robohnya musala di Pesantren al-Khozini yang menelan syahidnya santri, hingga tayangan Trans7 yang memantik kontroversi karena dianggap menyudutkan kultur pesantren. Peristiwa ini mengundang gelombang reaksi emosional dan intelektual dari kalangan santri, alumni, dan pemerhati pendidikan Islam. Seolah-olah pesantren, dengan segala khazanah tradisi dan spiritualitasnya, harus kembali membela diri di hadapan publik yang melihatnya lewat layar digital datar, potong-potong, dan tanpa konteks.

 

Padahal pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah ekosistem kebudayaan yang tumbuh dari akar spiritual dan sosial masyarakat Nusantara. Di dalamnya, kata-kata seperti ngaji, khidmah, tabarruk, dan barokah bukan istilah ritual, melainkan cara hidup. Maka, ketika media modern menampilkan cuplikan adegan seorang santri mencium tangan atau bersimpuh di hadapan kiai dan menafsirkannya sebagai “feodalisme,” ada sesuatu yang hilang: kedalaman makna yang hanya bisa dipahami dari dalam pengalaman pesantren itu sendiri.

 

Fragmen dari karya sastra Sunda “Dongeng Enteng ti Pasantren” karya R.A.F. menggambarkan dengan indah dunia itu:

“Memeh terangeun saha sahana, kuring nyolongkrong munjungan, nyium panangana, kawas baheula jaman di pasantren.”

 

Cuplikan itu sederhana tapi sarat makna. Mencium tangan ajengan bukan bentuk penundukan diri, melainkan ekspresi cinta dan penghormatan spiritual. Ia merupakan gestur simbolik yang menandai rantai pengetahuan dan keberkahan (sanad) antara guru dan murid. Di sinilah pesantren memiliki bahasa simboliknya sendiri. Namun, di tengah derasnya arus digital, simbol-simbol itu sering diseret ke ranah logika modern yang serba rasional dan birokratis, lalu dibaca secara harfiah tanpa empati budaya.

 

Era digital telah mengubah cara manusia menilai sesuatu. Segalanya diukur oleh visual, ditafsir oleh algoritme, dan diputuskan lewat komentar netizen. Dunia pesantren yang seharusnya dilihat melalui lensa pengalaman spiritual justru ditafsir melalui sudut pandang sosial modern, hubungan hierarkis, kekuasaan, bahkan gratifikasi. Ketika seorang santri pulang dan membawa amplop kecil untuk gurunya, sebagian orang memandangnya sebagai “suap religius.” Padahal dalam kebudayaan pesantren, itu adalah bentuk tabarruk (permohonan keberkahan), bukan transaksi duniawi.

 

Krisis tafsir ini bukan hal baru. Dalam sejarah intelektual Islam Nusantara, pesantren selalu menjadi ruang pertemuan antara lokalitas dan universalitas, antara Islam dan budaya. Pesantren adalah ruang “tawassuth”  (jalan tengah) yang memadukan teks dan konteks, syariat dan adab, ilmu dan amal. Namun di era digital, ruang tafsir ini direnggut oleh logika post-truth yang menempatkan persepsi di atas pemahaman.

 

Seorang sarjana Belanda, Martin van Bruinessen, dalam penelitiannya tentang pesantren mencatat bahwa relasi guru dan murid di pesantren bukanlah relasi kuasa, tetapi relasi moral-spiritual. Kiai bukan penguasa, melainkan penjaga ilmu. Murid bukan bawahan, melainkan pewaris. Relasi ini dibangun atas dasar cinta, bukan ketakutan. Dalam kerangka ini, perilaku menunduk, mencium tangan, atau melayani kiai tidak dapat dibaca dengan kacamata politik kekuasaan, tetapi harus ditafsir sebagai simbol ketundukan spiritual kepada ilmu.

 

Sayangnya, cara baca demikian jarang muncul di ruang publik digital yang serba cepat. Di dunia media sosial, keheningan belajar tergantikan oleh hiruk-pikuk opini. Proses mendengar dan memahami (dua kemampuan utama seorang santri) tergantikan oleh kebutuhan untuk bereaksi. Akibatnya, pesantren sering terjebak dalam dua posisi ekstrem menjadi korban salah tafsir atau dipaksa tampil modern agar tidak “ketinggalan zaman”. Padahal, nilai-nilai pesantren tidak lahir dari tuntutan zaman, melainkan dari kontinuitas spiritual yang panjang.

 

Dalam situasi seperti ini, penting bagi publik untuk membaca pesantren bukan dengan satu kacamata, melainkan dengan pendekatan yang lebih luas  antropologis, kultural, bahkan semiotik. Sebagaimana diingatkan oleh Azyumardi Azra dalam Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium Baru, pesantren adalah “produk sejarah Islam Indonesia yang khas” tidak bisa diukur dengan ukuran sekolah modern, tetapi dengan parameter nilai, adab, dan spiritualitas yang hidup dalam masyarakatnya.

 

Kita perlu belajar membaca simbol. Dalam ilmu semiotika, makna bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, ia lahir dari konteks sosial dan keyakinan yang melingkupinya. Ketika seorang santri jongkok di depan gurunya, itu bukan tanda inferioritas, tetapi cara menghormati sumber ilmu. Dalam konteks postkolonial, gestur ini bisa ditafsir sebagai bentuk “pembalikan makna kolonial” di mana tindakan menunduk bukan lagi lambang penaklukan, tetapi pernyataan kesetiaan kepada tradisi yang merdeka dari logika kolonialisme pengetahuan.

 

Namun, pesantren pun tidak bisa menutup diri. Tantangan era digital adalah bagaimana mengomunikasikan nilai-nilai pesantren ke ruang publik tanpa kehilangan keaslian maknanya. Santri kini tidak hanya belajar di serambi masjid, tetapi juga di layar gawai. Di sini, pesantren perlu hadir bukan sebagai benteng defensif, tetapi sebagai jembatan kultural memperkenalkan etika ilmu dan spiritualitas ke dunia yang haus makna.

 

Dalam konteks inilah, gerakan #SantriDigital dan berbagai inisiatif literasi pesantren menjadi penting. Mereka tidak sekadar melawan stigma, tetapi membangun narasi tandingan bahwa pesantren bukan lembaga tertinggal, melainkan sumber kebijaksanaan lokal yang dapat memperkaya modernitas. Santri yang dulu dikenal dengan kitab kuning, kini juga menulis opini, membuat konten edukatif, bahkan memproduksi film pendek (dan semua itu sudah banyak berserakan tinggal mau saja untuk menemukannya). Namun di tengah semua itu, ruh pesantren tetap sama ta’dzim pada ilmu dan ikhlas dalam khidmah.

 

Akhirnya, tafsir tunggal atas pesantren  entah dari media, publik urban, atau bahkan akademisi selalu berisiko menyederhanakan kompleksitas yang justru menjadi kekuatan pesantren. Di balik tembok bata dan atap sengnya, pesantren menyimpan laboratorium moral yang melahirkan manusia dengan kesadaran ganda berilmu dan beradab. Dan di tengah dunia yang serba cepat, di mana “tafsir” lebih sering berarti “kesan pertama”, pesantren hadir untuk mengingatkan bahwa memahami tidak sama dengan melihat.

 

Seperti doa santri yang pelan namun dalam maknanya, pesantren tetap berdiri di antara hiruk-pikuk zaman, menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara akal dan adab. Maka, sebelum menilai, mungkin kita perlu menunduk sejenak  bukan untuk tunduk pada manusia, melainkan untuk memberi ruang bagi pemahaman yang lebih dalam tentang kemanusiaan itu sendiri.

 


Editor: Abas

Fotografer: -