Memuat...

BMBPSDM Kementerian Agama RI

Memuat halaman...

Layanan Disabilitas

Ukuran Teks

Kontras

Pembaca Teks

Berita

Guru Ditantang Hadapi Intoleransi Pelajar dan Polarisme Digital

Senin, 22 September 2025
Guru Ditantang Hadapi Intoleransi Pelajar dan Polarisme Digital
Seminar Penguatan Moderasi Beragama bagi Guru Pendidikan Agama di Kabupaten Demak bertema “Guru Moderat, Generasi Hebat Bermartabat,” yang diselenggarkan Balai Litbang Agama (BLA) Semarang bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Demak

Demak (BMBPSDM)---Kepala Balai Litbang Agama (BLA) Semarang, Moch. Muhaemin, mengatakan guru memiliki peran vital sebagai garda terdepan dalam menjaga masa depan bangsa, terutama di tengah maraknya perpecahan dan pandangan ekstrem yang bisa menyelinap masuk hingga ke dunia pendidikan.

 

“Saat ini, kita hidup di era di mana perpecahan dan pandangan ekstrem bisa menyelinap masuk, bahkan ke dalam lingkungan pendidikan kita. Inilah mengapa tema seminar kita hari ini," ujarnya.

 

Hal tersebut dikemukakan Muhaemin dalam Seminar Penguatan Moderasi Beragama bagi Guru Pendidikan Agama di Kabupaten Demak bertema “Guru Moderat, Generasi Hebat Bermartabat,” yang diselenggarkan Balai Litbang Agama (BLA) Semarang bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Demak, Senin (22/9/2025).

 

Menurutnya, penguatan moderasi beragama harus ditopang dengan data yang kuat. Hasil riset Balai Litbang Agama Semarang menunjukkan tren positif. Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) Nasional terus meningkat. Pada 2024, indeks tersebut mencapai 76,47, naik dari 76,02 pada 2023. Di Jawa Tengah, angkanya bahkan lebih tinggi, yakni 78,98.

 

“Angka ini menunjukkan kerja keras kita membuahkan hasil, dan kita harus terus mempertahankannya,” tambahnya.

 

Namun, Muhaemin juga mengingatkan adanya tantangan serius. Survei Setara Institute (2023) mencatat gejala intoleransi di kalangan pelajar masih cukup tinggi: 24,2% pelajar tergolong intoleran pasif, 5,0% intoleran aktif, dan 0,6% terpapar ideologi ekstremisme kekerasan. Lebih mencemaskan lagi, 83,3% responden menyatakan Pancasila bukan ideologi permanen sehingga dapat diganti.

 

“Angka-angka ini adalah peringatan keras bagi kita semua bahwa pertempuran ideologi sedang terjadi di lingkungan pendidikan,” tegasnya.

 

Muhaemin juga menyoroti hasil riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menunjukkan kuatnya polarisasi di ruang digital. Meskipun kerukunan di dunia nyata relatif baik, polarisasi di media sosial menjadi ancaman nyata bagi generasi muda.

 

Sementara itu, laporan Indeks Kota Toleran 2023 yang dirilis Setara Institute menempatkan Kota Salatiga di peringkat pertama nasional dengan skor 6,544 dan Kota Semarang di peringkat ketiga dengan skor 6,356. Capaian ini, menurut Muhaemin, menjadi bukti nyata bahwa praktik moderasi beragama di Jawa Tengah berjalan baik, berkat kolaborasi seluruh elemen masyarakat, terutama guru.

 

“Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cerminan dari kerja keras, kolaborasi, dan komitmen kita semua. Tugas kita sekarang adalah memastikan bahwa nilai-nilai moderasi beragama tidak hanya menjadi data yang bagus, tetapi juga benar-benar tertanam kuat dalam diri setiap siswa,” tuturnya.

 

 

 

Pentingnya Pola Pikir

 

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Demak, Haris Wahyudi Ridwan, menekankan pentingnya membangun pola pikir yang berkembang (growth mindset) dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam mewujudkan moderasi beragama dan pembentukan karakter generasi muda.

 

“Kita harus menguatkan pola pikir. Jangan berhenti ketika ada hambatan atau sesuatu yang tidak nyaman. Justru dengan pola pikir berkembang, kita diajak untuk mencari solusi atas setiap persoalan,” ujarnya di Demak.

 

Menurutnya, membangun sikap moderasi bukanlah perkara mudah. Hambatan terbesar seringkali datang dari pola pikir yang statis. “Jangan sampai kita terjebak dalam sikap ‘rapopo tapi ditenono’. Itu justru menghambat kita berubah. Kita perlu membuka ruang agar terus mencari solusi, sehingga generasi mendatang mendapat teladan yang baik,” tegasnya.

 

Haris menambahkan, transformasi keterampilan dalam konteks keberagaman agama hanya dapat dicapai melalui penguatan toleransi dan dialog. Ia mencontohkan, ketika ada perbedaan atau kritik terkait pelayanan publik, pendidikan, maupun pembangunan infrastruktur, pemerintah daerah berupaya menyediakan ruang aspirasi. Dengan begitu, perbedaan pandangan tidak berkembang menjadi perpecahan.

 

“Alhamdulillah, meski sempat ada perpecahan di beberapa daerah lain pada Agustus lalu, Kabupaten Demak masih tetap kondusif. Itu karena kita selalu berusaha mewadahi setiap aspirasi masyarakat,” jelasnya.

 

Ia juga mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam memilih kata dan diksi ketika berdialog. Menurutnya, sebuah kalimat yang dianggap biasa oleh seseorang bisa jadi menyinggung pihak lain. “Kita harus lebih santun dalam menyampaikan informasi. Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Kalau orang tua atau guru terbiasa keras dalam menyikapi sesuatu, anak akan menirunya,” ungkapnya.

 

Haris menekankan, perubahan cepat yang dibawa media sosial menuntut orang tua dan guru untuk lebih sadar dalam mendampingi anak-anak. “Sebelum orang lain mengubah, kita harus lebih dulu menguatkan diri. Kita harus menjadi teladan yang baik, karena anak-anak meniru dari apa yang mereka lihat,” katanya.

 


Editor: Abas dan Barjah

Fotografer: -