Memuat...

BMBPSDM Kementerian Agama RI

Memuat halaman...

Layanan Disabilitas

Ukuran Teks

Kontras

Pembaca Teks

Berita

Kemenag Tekankan Validitas Indikator dalam Mengukur Konflik Sosial Keagamaan

Fadhil

Penulis

Selasa, 23 September 2025
Kemenag Tekankan Validitas Indikator dalam Mengukur Konflik Sosial Keagamaan
Kepala BMBPSDM, Muhammad Ali Ramdhani, dalam kegiatan Bimbingan Teknis Implementasi Early Warning System (EWS) pada Kantor Urusan Agama bagi manajemen tingkat provinsi di Jakarta, Selasa (23/9/2025).

Jakarta (BMBPSDM)---Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kementerian Agama, Muhammad Ali Ramdhani, menekankan pentingnya validitas dan reliabilitas dalam mengukur indikator konflik sosial berdimensi keagamaan.

Menurut Kaban Dhani -sapaan akrabnya- angka statistik saja tidak cukup untuk memahami potensi konflik. Cara membaca data justru menentukan ketepatan penilaian.

“Membaca gejala masalah sebelum menjadi masalah itu penting, tetapi jangan terjebak hanya pada membaca gejala masalah,” ujarnya dalam kegiatan Teknis Implementasi Early Warning System (EWS) pada KUA bagi manajemen tingkat provinsi di Jakarta, Selasa (23/9/2025).

Kaban Dhani menjelaskan, indikator awal harus dibedakan dari masalah utama agar kebijakan yang diambil tepat sasaran. Pemilihan alat ukur menjadi hal krusial, mulai dari jenis skala data, margin of error, hingga penentuan kapan fluktuasi dianggap darurat.

“Early warning system pada dasarnya adalah cara mengukur jika tingkat errornya terlalu jauh,” jelasnya.

Kaban Dhani menambahkan, EWS bukan hanya soal pengumpulan data, melainkan juga bagaimana data diinterpretasikan. Jika indikator tidak valid atau tidak andal, kebijakan yang lahir bisa berlebihan atau justru terlambat dalam merespons bahaya nyata.

Sebagai contoh, Ia menyinggung fenomena pergeseran demografi dan penurunan angka perkawinan. “Turunnya jumlah perkawinan tidak otomatis berarti meningkatnya kesadaran beragama. Faktor lain, seperti perubahan struktur demografi atau pernikahan kedua yang tetap dihitung satu, juga memengaruhi statistik,” terangnya.

Dalam paparannya, Kaban Dhani mengurai perbedaan skala data—nominal, ordinal, interval, dan rasio—beserta dampaknya terhadap analisis. Ia juga mengingatkan bahwa kesalahan sering terjadi ketika semua angka diperlakukan sama.

“Alat ukur yang tidak tepat akan menghasilkan kesimpulan yang tidak dapat diandalkan,” ucapnya.

Sebagai contoh indikator toleransi, kebiasaan memberi hadiah saat perayaan keagamaan tetangga nonmuslim dapat dijadikan salah satu atribut pengukuran. Namun, menurutnya, konteks harus diperhatikan. “Di lingkungan tanpa minoritas, tidak memberi hadiah bukan berarti intoleransi,” tuturnya.

Sejalan dengan itu, Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Ahmad Zayadi, menekankan pentingnya peran strategis KUA dalam menjalankan sistem peringatan dini berbasis data. Menurutnya, KUA perlu memperkuat literasi data penghulu dan penyuluh agama, sekaligus meningkatkan kepekaan sosial di lapangan.

“KUA adalah garda terdepan dalam membaca tanda-tanda potensi konflik di masyarakat. Kemampuan membaca data tidak boleh berhenti pada angka. Validitas dan reliabilitas indikator memang penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana KUA menerjemahkan indikator itu menjadi langkah nyata menjaga kerukunan umat,” tegasnya.


Editor: Barjah

Fotografer: -