Memuat...

BMBPSDM Kementerian Agama RI

Memuat halaman...

Layanan Disabilitas

Ukuran Teks

Kontras

Pembaca Teks

Berita

Tiga Penyebab Hilangnya Nilai-Nilai Kemanusiaan

Barjah

Penulis

Selasa, 18 November 2025
Tiga Penyebab Hilangnya Nilai-Nilai Kemanusiaan
Kepala BMBPSDM Kemenag RI, Muhammad Ali Ramdhani, dalam Pelatihan Pengembangan Wawasan Moderasi Beragama dan Internalisasi Ekoteologi di Soreang, Bandung, Senin (17/11/2025).

Soreang (BMBPSDM)---Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Kementerian Agama, Muhammad Ali Ramdhani, menyatakan terdapat tiga hal yang dapat membuat seseorang kehilangan nilai kemanusiaannya.

 

Pertama adalah kebendaan atau materi. Ketika seseorang menuhankan uang, ia dapat mengorbankan dirinya demi memperoleh materi secara instan. “Banyak orang yang nekat mengambil posisi yang sangat berbahaya demi mendapatkan materi secara cepat,” ujarnya di hadapan 60 peserta Pelatihan Pengembangan Wawasan Moderasi Beragama dan Internalisasi Ekoteologi di Soreang, Bandung, Senin (17/11/2025).

 

Kedua, nilai kemanusiaan dapat hilang karena cinta. Menurut Kaban Dhani—sapaan akrabnya—atas nama cinta, seseorang dapat dengan mudah menyakiti bahkan membunuh sesama. Cinta juga dapat menjadi bencana ketika ditempatkan secara keliru.

 

Ketiga adalah fanatisme. Sikap ini dapat mendorong seseorang melakukan apa pun tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaan. “Fanatisme itu berbahaya jika tidak dikelola. Fanatisme yang produktif adalah kecintaan yang membuat kita bekerja keras, bukan memusuhi orang lain,” tegasnya.

 

Baca Juga: Wajib Tahu! Inilah Pentingnya Penguatan Moderasi Beragama di Kalangan Pemuda

 

Dalam konteks moderasi beragama, fanatisme menjadi salah satu tantangan terbesar. Moderasi beragama, kata Kaban Dhani, adalah kemampuan menempatkan diri secara proporsional.

 

“Kita boleh meyakini kebenaran agama masing-masing, tetapi tidak boleh memaksakan kebenaran itu dengan cara yang mencederai nilai kemanusiaan,” ucapnya.

 

Kaban Dhani menegaskan bahwa moderasi beragama bukanlah pendangkalan keimanan. Moderasi beragama justru menjadi cara untuk memahami bahwa nilai-nilai agama tidak boleh disalahgunakan untuk tujuan yang merusak. Agama hadir untuk menghadirkan kedamaian, bukan perpecahan; untuk mendorong manusia mencintai kehidupan, bukan merusaknya.

 

“Agama itu seperti air yang menyejukkan, membersihkan, dan menghidupkan. Namun ketika air ditempatkan pada ruang yang salah—misalnya pada bendungan yang jebol—air dapat merusak. Begitu pula agama. Ketika diletakkan pada cara pandang yang keliru, ia bisa menjadi alat pembenaran untuk tindakan yang bertentangan dengan nilai kebaikan,” jelasnya.

 

“Maka, tugas kita adalah meneguhkan kembali makna kehadiran agama dalam kehidupan. Agama itu menenteramkan, menguatkan, dan membangun kesalingpahaman, bukan kesalahpahaman. Moderasi beragama menjadi jembatan untuk menguatkan nilai-nilai tersebut,” tambahnya.

 

Pujiono, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nahdlatul Ulama Malang.

 

Sejalan dengan itu, salah seorang peserta dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nahdlatul Ulama Malang, Pujiono, menilai pelatihan yang diselenggarakan Kementerian Agama ini sangat penting.

 

“Kementerian Agama harus tetap menjadikan moderasi beragama sebagai pilar utama. Harus ada penanaman pemahaman yang berkelanjutan dan pelatihan yang tidak hanya terbatas pada dosen, tenaga pendidik, atau ASN Kemenag saja, tetapi juga bagi masyarakat luas,” harapnya.

 

Melalui pelatihan ini, Pujiono dan peserta lainnya berharap dapat memperkuat praktik keagamaan yang moderat, toleran terhadap sesama, serta terus menjaga persatuan bangsa.

 


Editor: Rizki Dewi Ayu

Fotografer: Barjah