Opini
Guru: Kuota vs Kualitas
Penulis
Oleh: Andriandi Daulay
(Analis Kepegawaian Madya Kanwil Kemenag Provinsi Riau)
Di tengah gegap gempita Hari Guru Nasional 2025 yang diperingati setiap tanggal 25 November, Kementerian Agama (Kemenag) membanggakan capaian monumental yang layak diapresiasi. Lonjakan peserta Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) hingga 700% - dari 29.000 di tahun 2024 menjadi 189.805 peserta pada 2025 - disertai realisasi bantuan insentif Rp 649 miliar untuk 216.500 guru non-ASN, menjadi "hadiah" yang terukur dan terpampang nyata (Kemenag, 2025). Data-data ini bagai skincare institusional, sebuah rangkaian angka yang dioleskan pada laporan kinerja, membuat wajah organisasi terlihat segar dan bersinar.
Namun, di balik kemilau statistik yang menggembirakan, tersembunyi pertanyaan filosofis mendasar: Apakah akselerasi kuanta ini telah menyentuh jantung persoalan pendidikan, atau hanya menjadi riasan yang mempercantik wajah letih guru-guru madrasah? Ketika Menteri Agama dengan lirih menyatakan "saya ikut merasakan pahit getirnya menjadi guru" dalam sambutannya di Cirebon (Kemenag, 2025), tersirat kerinduan akan kebijakan yang tidak hanya menghitung, tetapi juga menghayati.
Secara normatif, peningkatan angka partisipasi dan besaran tunjangan adalah indikator keberhasilan yang sahih dalam tata kelola pemerintahan modern. Capaian 189.805 peserta PPG serta kenaikan tunjangan profesi guru non-PNS menjadi Rp 2 juta per bulan merupakan kemajuan konkret yang patut diacungi jempol. Data yang menunjukkan komitmen nyata dalam mempercepat pemenuhan standar kualifikasi guru madrasah.
Namun, dalam perspektif pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang holistik, esensi dari sebuah "hadiah" sejati bagi guru bukan terletak pada kelimpahan kuota, melainkan pada kedalaman kualitas dan kebermaknaan. Braincare dalam konteks ini, menyoroti apakah program PPG yang dipercepat itu benar-benar menyentuh kebutuhan penguatan kapasitas intelektual, metodologi kritis, dan kemandirian akademik guru? Sementara livercare adalah apakah kenaikan insentif dan tunjangan itu telah disertai dengan perhatian otentik pada beban mental, spiritualitas, dan ekosistem kerja yang manusiawi?
Pencapaian kuanta yang impressive ini perlu dibaca dengan kritis agar tidak terjebak dalam euforia semu. Beberapa celah yang perlu menjadi perhatian:
- Akselerasi PPG dan Risiko Pemiskinan Makna
Lonjakan peserta 700% adalah prestasi administratif yang fantastis. Namun, pertanyaannya, apakah proses akselerasi ini diikuti dengan penjagaan mutu yang setara? Pengalaman pelaksanaan PPG sebelumnya menunjukkan adanya kecenderungan "mengejar sertifikat" daripada "mencari kompetensi" (Nurkholis, 2023). Ada kekhawatiran bahwa dalam skala besar seperti ini, PPG bisa berubah menjadi mesin sertifikasi massal yang mengabaikan kedalaman proses pembelajaran. Padahal, esensi PPG seharusnya adalah transformasi kompetensi, bukan sekadar administratif belaka. - Bantuan Insentif yang Belum Menyentuh Akar Kesejahteraan
Bantuan Rp 649 miliar untuk 216.500 guru non-ASN dan tunjangan daerah 3T adalah kebijakan yang mulia. Namun, jika dirata-ratakan, besaran bantuan per guru sekitar Rp 3 juta per bulan - angka yang untuk daerah tertentu masih berada di ambang batas kecukupan. Kesejahteraan sejati adalah tentang kepastian, keadilan, dan martabat, bukan sekadar tambahan nominal yang kerap tergerus biaya hidup dan ketidakpastian status. Banyak guru honorer yang masih bergulat dengan status "tenaga sukarela bergaji minim" meski telah bertahun-tahun mengabdi (Fathoni, 2024). - Ekosistem yang Tetap Membebani
Kebijakan "hadiah" finansial dan sertifikasi bisa menjadi batu bata yang baik. Namun, tanpa diikuti dengan perombakan sistemik terhadap beban administratif, tekanan kurikulum yang kaku, dan budaya kerja yang menyesakkan, guru-guru yang telah "disertifikasi" dan "dinaikkan tunjangannya" itu akan kembali terjebak dalam rutinitas yang menggerus gairah mengajar. Penelitian terhadap guru madrasah menunjukkan bahwa 65% waktu kerja mereka habis untuk urusan administratif non-pengajaran (Rahman, 2024). Mereka berisiko menjadi "guru bersertifikat" yang burnout - secara finansial lebih sejahtera tetapi secara mental semakin terkuras.
"Hadiah" sejati bagi guru harus melampaui laporan keuangan dan grafik partisipasi. Ia harus menyentuh relung paling dalam dari profesi keguruan. Beberapa langkah strategis yang dapat dipertimbangkan:
- Memaknai Ulang Akselerasi dengan Pendekatan Brain Care
Kemenag perlu mendefinisikan ulang "keberhasilan PPG" bukan pada jumlah lulusan, tetapi pada perubahan praktik mengajar di kelas. Evaluasi harus berfokus pada dampaknya terhadap siswa, bukan pada kelengkapan portofolio. Proses PPG perlu diintegrasikan dengan komunitas praktisi (community of practice) yang berkelanjutan, dimana guru tidak hanya "di-diklat" tetapi juga terlibat dalam jejaring pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning). - Merancang Skema Kesejahteraan Berbasis Livercare
Alih-alih sekadar menaikkan angka, bangunlah sistem kesejahteraan berjenjang yang memberikan kepastian karir, jaminan kesehatan, dan perlindungan kerja. Program mental health support bagi guru, khususnya yang bertugas di daerah 3T, perlu menjadi perhatian serius. Ini adalah livercare institusional yang sesungguhnya - mengakui bahwa guru bukan sekadar tenaga pengajar, tetapi manusia utuh dengan kebutuhan psikologis dan spiritual. - Membangun Ekosistem yang Memuliakan Guru
Kebijakan harus difokuskan pada menciptakan ruang bernapas bagi guru: memangkas beban administratif yang tidak perlu melalui simplifikasi sistem, memberikan otonomi dalam mengajar, dan membangun budaya sekolah yang suportif. Transformasi digital di lingkungan madrasah seharusnya diarahkan untuk mempermudah kerja guru, bukan menambah beban dengan aplikasi-aplikasi yang rumit. - Menyelaraskan Kata dan Rasa dalam Kebijakan
Pernyataan Menag yang menyentuh tentang guru sebagai "penuntun perjalanan batin" dan pendidikan yang "memuliakan jiwa" adalah musik yang indah (Kemenag, 2025). Namun, musik itu harus menjadi arsitektur bagi kebijakan. Setiap program harus diuji: Apakah ini memuliakan jiwa guru? Apakah ini menuntun perjalanan batin mereka? Kesesuaian antara retorika dan implementasi menjadi kunci keberhasilan transformasi pendidikan madrasah.
Seruan untuk Aksi yang Memuliakan
Hari Guru bukanlah pesta laporan kuota. Ini refleksi tentang, apakah kita benar-benar menghargai "pejuang tanpa nama" itu. Data 189.805 peserta PPG dan triliunan rupiah anggaran adalah batu bata yang penting. Namun, sebuah peradaban tidak dibangun dari batu bata semata, melainkan dari jiwa yang menghuninya.
Mari alihkan obsesi dari mengejar angka menuju menumbuhkan manusia. Berikan guru bukan sekadar sertifikat, melainkan kedaulatan ilmu; bukan sekadar tunjangan, melainkan martabat dan kepastian; bukan sekadar pujian di panggung seremonial, melainkan ruang yang membebaskan untuk bernapas, berkreasi, dan bercahaya.
Seperti kata Menag, guru menyalakan cahaya dalam jiwa murid. Tugas kita memastikan bahwa cahaya jiwa guru sendiri tidak padam diterpa beban sistem yang kaku dan penghargaan yang hanya skin deep. Karena hanya guru yang jiwanya bercahaya yang dapat menyalakan ribuan cahaya lainnya di masa depan. Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan guru tidak diukur dari seberapa banyak yang sertifikasi, tetapi dari berapa banyak guru yang tetap mencintai profesinya dengan penuh cahaya dan makna.
Editor: Dewi Ayu Indah Diantiningrum
Fotografer: -
Terkini
BMBPSDM Kemenag Siapkan Instrumen untuk Indeks Layanan Keagamaan 2025, Ini Fokus Utamanya
18 Nov 2025
Berita
Tiga Penyebab Hilangnya Nilai-Nilai Kemanusiaan
18 Nov 2025
Berita
Tubuh dan Bumi Sama-Sama Dititipkan, Apa Maksudnya?
18 Nov 2025
Berita
Puluhan Dosen Muda UIN Malang Antusias Ikuti TOT Moderasi Beragama
17 Nov 2025
Berita
MOOC Pintar Lampaui Target Nasional: 1.304.546 Peserta Telah Belajar Sepanjang 2025
16 Nov 2025
Berita
Opini Lainnya
Menjaga Indonesia dengan Jiwa Moderat
16 Nov 2025
oleh Moch. Muhaemin
Ancaman Iklim Ekstrem terhadap Kelayakan Ibadah Haji: Perlunya Regulasi Usia dan Layanan Lansia yang Adaptif
14 Nov 2025
oleh Ardiyanto Hasugian
Analisis Singkat: Pro dan Kontra Milestone Ekoteologi Nasional (2025–2030)
13 Nov 2025
Menjadi Analis Kebijakan yang Profesional: Antara Kemampuan Teknis dan Integritas Etika
11 Nov 2025
oleh Ardiyanto Hasugian
Ekoteologi: Dari Perintah Agama Menuju Kedaulatan Ekologis
11 Nov 2025