Memuat...

BMBPSDM Kementerian Agama RI

Memuat halaman...

Layanan Disabilitas

Ukuran Teks

Kontras

Pembaca Teks

Opini

Menyambut Buku Ekoteologi: Merangkul Spiritualitas Interbeing Manusia dan Alam

Rabu, 22 Oktober 2025
Menyambut Buku Ekoteologi: Merangkul Spiritualitas Interbeing Manusia dan Alam
Dokumentasi

 

Budhy Munawar-Rachman, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Penasehat Ahli Menteri Agama RI

 

Jakarta (BMBPSDM)---Di tengah krisis ekologi yang kian nyata—hutan yang gundul, lautan yang tercemar, udara yang kian beracun—Buku Ekoteologi Kementerian Agama Republik Indonesia, yang akan terbit akhir Oktober 2025, hadir sebagai oase spiritual yang menyejukkan. Disusun sebagai rujukan konseptual dan operasional, buku ini bertujuan mengarusutamakan kesadaran ekologis dalam kehidupan beragama dan pembangunan nasional. Buku Ekoteologi bukan sekadar wacana, melainkan panggilan untuk merangkul interbeing—keterhubungan universal antara manusia, alam, dan ciptaan lainnya—sebagai jantung spiritual yang menegaskan bahwa merawat bumi adalah wujud ibadah. Sebagai bagian dari Asta Protas 2025–2029, buku ini mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal untuk menjawab krisis ekologi dengan kesadaran mendalam dan tindakan nyata, mengajak bangsa Indonesia untuk merawat tanah, air, dan udara yang berdaulat.

 

Posisi Strategis Buku Ekoteologi

Buku Ekoteologi menempati posisi sentral dalam lanskap spiritual dan kebijakan Indonesia, dengan peran sebagai berikut:

Instrumen kebijakan negara: Terintegrasi dalam Asta Protas 2025–2029 dan selaras dengan RPJMN 2025–2029 serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, buku ini menjadi panduan resmi untuk mengarusutamakan kesadaran ekologis dalam pembangunan nasional.

Landasan teologis dan spiritual: Menegaskan bahwa menjaga alam adalah bagian integral dari iman dan ibadah lintas agama, mengajak bangsa Indonesia untuk merawat tanah, air, dan udara sebagai amanah suci.

Integrasi lintas aspek: Menghubungkan ajaran agama, kearifan lokal, dan prinsip pembangunan berkelanjutan untuk menciptakan harmoni holistik yang mendukung Sustainable Development Goals (SDGs).

Gerakan kolektif: Merangkul seluruh tradisi religius di Indonesia serta melibatkan stakeholder seperti organisasi keagamaan, tokoh perempuan, tokoh adat, dan kementerian untuk membentuk visi bersama.

Rujukan praktis: Digunakan untuk penguatan sumber daya manusia (SDM), integrasi kurikulum pendidikan agama, pelayanan keagamaan, kebijakan kelembagaan, serta program nasional seperti redesign sarana dan prasarana ramah lingkungan, Eco-Masjid, dan KUA Hijau.

Dengan pendekatan yang santun namun teguh, Buku Ekoteologi tidak hanya menjadi teks teoretis, tetapi juga panduan operasional yang menggugah umat untuk menjalani spiritualitas interbeing dalam keseharian.

 

Interbeing: Jantung Spiritual Ekoteologi

Buku Ekoteologi menempatkan interbeing—konsep yang dipopulerkan Thich Nhat Hanh dalam tradisi Buddha—sebagai inti spiritual yang menghubungkan manusia dengan alam. Interbeing mengajarkan bahwa manusia, alam, dan ciptaan lainnya saling terhubung dalam jaringan kehidupan. “Kita dan bumi saling memiliki. Bila bumi menderita, kita pun menderita,” sebuah prinsip yang digaungkan dalam buku ini. Krisis ekologi, seperti deforestasi, polusi laut, dan rekor suhu terpanas pada 2024, bukan sekadar masalah teknis, tetapi cerminan krisis spiritual: kegagalan menyadari keterhubungan ini.

Dalam Islam, interbeing tercermin dalam konsep khalifah fil ardh (QS. Al-Baqarah: 30; Ar-Rum: 41). Sebagai khalifah, manusia bukan penguasa bumi, melainkan penjaga yang diamanahi untuk menjaga keseimbangan dan memperbaiki kerusakan. Ayat “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia” (QS. Ar-Rum: 41) menjadi pengingat bahwa krisis ekologi adalah panggilan untuk kembali ke jalan yang benar. Hadis Nabi Muhammad SAW, “Bumi adalah masjidku dan suci bagiku” (HR. Bukhari), memperkuat bahwa menjaga kebersihan dan kelestarian alam adalah ibadah. Prinsip mizan (keseimbangan) dalam Al-Qur’an (QS. Ar-Rahman: 7-9) mengajarkan harmoni ekosistem, selaras dengan interbeing. Buku Ekoteologi menegaskan bahwa merusak alam sama dengan menodai rahmat Ilahi, karena bumi adalah perpanjangan kasih Tuhan.

Buku ini menguraikan tiga pilar ekoteologi: iman, ilmu, dan amal. Iman menegaskan bahwa menjaga alam adalah amanah Ilahi. Ilmu memberikan fakta tentang kondisi bumi, seperti banjir musiman, kekeringan, dan pencemaran laut di Indonesia. Amal mengubah kesadaran menjadi tindakan, seperti inisiatif Eco-Masjid dan KUA Hijau. Ketiga pilar ini, sebagaimana dijelaskan dalam buku, harus bersatu seperti anyaman yang kuat untuk menahan beban krisis zaman. Interbeing menjadi energi spiritual yang menjiwai pilar-pilar ini, memastikan ekoteologi hidup dalam tindakan nyata.

 

Akar Interbeing dalam Tradisi Keimanan

Buku Ekoteologi menggali akar interbeing dalam berbagai tradisi agama dan kearifan lokal, menunjukkan bahwa keterhubungan manusia dan alam telah lama tertanam dalam ajaran suci. Dalam Islam, konsep khalifah fil ardh dan ayat kauniyah menegaskan bahwa alam adalah tanda-tanda keagungan Tuhan yang harus dijaga. Dalam Kristen, Kitab Kejadian (2:15) mengajak manusia untuk “mengusahakan dan memelihara” taman Eden, mencerminkan hubungan kasih yang saling bergantung. Hindu melalui Tri Hita Karana menawarkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, tercermin dalam praktik subak di Bali. Buddha menegaskan Bhuvana Smrti dan interbeing, bahwa penderitaan alam adalah penderitaan manusia. Khonghucu melalui Sancai dalam Zhong Yong mengajarkan harmoni antara langit (Tian), bumi (Di), dan manusia (Ren), dengan janji kesejahteraan jika keseimbangan terjaga.

Kearifan lokal Nusantara memperkaya wacana ini. Sasi di Maluku melindungi sumber daya laut dengan larangan panen pada waktu tertentu. Hutan larangan di Kalimantan dipelihara sebagai wilayah sakral. Subak di Bali mengatur pembagian air sawah dengan tata cara spiritual. Buku Ekoteologi merangkum tradisi-tradisi ini sebagai bukti bahwa interbeing telah hidup dalam budaya leluhur, menjadi fondasi kuat untuk ekoteologi modern.

Dari Refleksi ke Praksis: Menghidupkan Interbeing

Buku Ekoteologi mengajak umat untuk menghidupkan interbeing melalui tindakan nyata. Dengan bahasa yang santun dan menggugah, buku ini mengusung “pertobatan ekologis” sebagaimana diungkapkan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ (2015), di mana tindakan sederhana seperti hemat energi, mengurangi sampah, atau menanam pohon menjadi doa bagi bumi. Buku ini merinci inisiatif Kementerian Agama, seperti Eco-Pesantren, Madrasah Hijau, penanaman sejuta pohon, dan festival lintas iman bertema ekologi, yang menjadikan interbeing sebagai titik temu spiritual antaragama di Indonesia yang majemuk. Dalam Islam, masjid sebagai “rumah Tuhan” dapat menjadi teladan keberlanjutan, dengan pengelolaan air dan energi yang mencerminkan prinsip mizan.

Thomas Berry (1999) menegaskan perlunya “emosi kosmik baru”—cinta mendalam kepada bumi sebagai subjek spiritual. Buku Ekoteologi menekankan emosional ecology, di mana interbeing menjadi energi yang menghidupkan kebijakan. Ritual, pendidikan, dan budaya religius harus diorientasikan kembali untuk menumbuhkan etika ekologis yang hidup, seperti khutbah Jumat yang membahas jejak karbon atau rumah ibadah yang ramah lingkungan.

Interbeing dalam Kebijakan Publik

Sebagai instrumen kebijakan negara, Buku Ekoteologi mengintegrasikan interbeing ke dalam dokumen nasional seperti RPJMN 2025–2029 dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Islam, prinsip khalifah fil ardh menjadi landasan etika pembangunan berkelanjutan, menggeser paradigma dari eksploitasi menuju keseimbangan. Buku ini menolak dikotomi antara spiritualitas dan regulasi, menjadikan ekoteologi sebagai teologi kebijakan (policy theology). Namun, buku ini juga memperingatkan risiko teologi menjadi dogma administratif, menegaskan perlunya pendekatan dialogis, sebagaimana diuraikan oleh Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility (1984).

Dalam konteks Indonesia yang majemuk, Buku Ekoteologi mengusung dialog lintas agama, mengakui bahwa isu lingkungan tidak mengenal sekat agama. Festival lintas iman bertema ekologi menjadi ruang untuk mempraktikkan interbeing, menyatukan umat Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya di bawah langit yang sama. Buku ini menggambarkan krisis ekologi sebagai peluang spiritual untuk menghapus batas identitas sempit, menumbuhkan kesadaran kolektif sebagai warga bumi.

Tantangan dan Harapan: Menanam Interbeing di Hati Umat

Krisis ekologi, seperti diuraikan dalam buku ini, bersifat sistemik, mencakup deforestasi, polusi, kenaikan suhu, serta dimensi sosial dan teologis. Rachel Carson dalam Silent Spring (1962) mengingatkan, “Di alam, tak ada yang berdiri sendiri.” Dalam Islam, Buku Ekoteologi menegaskan bahwa dosa ekologis adalah kegagalan memahami interbeing sebagaimana tersirat dalam peran khalifah fil ardh. Tantangan terbesar adalah menjadikan ekoteologi sebagai gerakan transformatif. Rumah ibadah yang masih boros energi atau menghasilkan sampah menunjukkan bahwa kesadaran interbeing belum sepenuhnya meresap.

Sebagai rujukan praktis, Buku Ekoteologi menawarkan solusi melalui pendidikan dan kebijakan. Modul pembelajaran ekoteologi, jejaring komunitas peduli lingkungan, dan regulasi ramah lingkungan adalah langkah konkret. Fritjof Capra dalam The Web of Life (1996) menegaskan bahwa memahami alam berarti memahami jaringan kehidupan. Dalam Islam, program Eco-Pesantren dan Madrasah Hijau menjadi wadah untuk menanamkan interbeing, mengajarkan umat bahwa menjaga bumi adalah bagian dari jihad fi sabilillah—perjuangan di jalan Tuhan.

Buku Ekoteologi : Undangan untuk Merangkul Interbeing

Dengan kelembutan dan ketegasan, Buku Ekoteologi mengundang umat untuk melihat alam sebagai ayat kauniyah—tanda-tanda Tuhan—dan menjalani interbeing sebagai wujud iman. Mengutip Jalaluddin Rumi, “Kamu adalah seluruh samudra dalam setetes air,” buku ini menggeser paradigma dari antroposentrisme menuju ekosentrisme. Jürgen Moltmann dalam God in Creation (1985) menegaskan bahwa ekoteologi harus melihat Tuhan dalam kehidupan dunia. Buku ini memadukan sains dan teologi, menghasilkan kebijakan yang bijak dan penuh makna.

Akan Rilis akhir  Oktober 2025, Buku Ekoteologi adalah panduan spiritual bagi setiap umat yang merindukan harmoni dengan ciptaan. Sebagai gerakan kolektif lintas agama, buku ini mengajak kita menjalani interbeing dalam khutbah Jumat, renungan Minggu, upacara Nyepi, meditasi di vihara, hingga tindakan sederhana di rumah tangga. Seperti kata Mahatma Gandhi, “Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak untuk keserakahan satu orang.” Mari sambut Buku Ekoteologi sebagai oase spiritual yang mengalirkan iman, ilmu, dan amal untuk merawat tanah, air, dan udara yang berdaulat, menjadikan interbeing sebagai jalan menuju masa depan Tanah Air Indonesia yang lestari.

 


Editor: Dewi Ayu Indah Diantiningrum

Fotografer: -