Opini
Merajut Nalar Birokrasi
Penulis

Oleh Andriandi Daulay
Analis Sumber Daya Aparatur Ahli Madya Kanwil Kementerian Agama Riau
Prolog
Dalam kosmos birokrasi, selalu ada dua kutub yang tarik-menarik yaitu nalar teknis dan logika hierarki. Nalar teknis adalah jiwa dari Jabatan Fungsional (JF) para spesialis, pemikir, dan pelaku yang menghidupkan misi organisasi dengan keahliannya. Sementara itu, logika hierarki merupakan kerangka dari Jabatan Pelaksana (Japel) tulang punggung operasional yang memastikan mesin birokrasi terus berdenyut.
Keputusan Menteri Agama Nomor 1150 Tahun 2025 tentang Peta Jabatan Fungsional dan Pelaksana hadir di tengah kompleksitas pengelolaan SDM Kementerian Agama. Dokumen ini bukan sekadar produk regulasi, melainkan cerminan dari upaya menyeimbangkan idealisme kebijakan dengan realitas di lapangan. Namun, implementasinya justru mengungkap tiga masalah sistemik yang selama ini membelit birokrasi kita. Sebuah upaya monumental untuk merajut kembali kedua kutub dalam tata kelola yang lebih bermartabat. Ini adalah langkah untuk mengembalikan “ruang nalar” bagi para ahli kebijakan, sambil memastikan “benteng birokrasi” tidak menjadi penghalang, melainkan penopang.
Melalui Surat Kepala Biro Orta Kementerian Agama RI tertanggal 26 September 2025, Tindak Lanjut Konversi Nomenklatur Jabatan Pelaksana dalam KMA 1150/2025 harus disegarakan. Namun, seperti semua peta di awal penjelajahan, ia masih menyisakan terra incognita—wilayah yang belum terpetakan. Kekurangan utamanya, seperti yang diakui dalam kegiatan rapat koordinasi Biro SDM Kemenag RI pada hari Rabu, 15 Oktober 2025. Belum masuknya beberapa JF karena Unit Pembina JF belum menyerahkan peta sebaran yang dilengkapi Analisis Jabatan dan Analisis Beban Kerja (Anjab-ABK).
Di sinilah letak paradoks pertama, sebuah kebijakan tentang penempatan justru terhambat oleh ketiadaan data penempatan. Bagai merancang sebuah kota masa depan tanpa mengetahui topografi dan aliran sungainya. Peta yang belum final ini adalah metafora sempurna untuk birokrasi yang masih dalam proses becoming—menjadi.
Namun, ada harapan dalam ketidaksempurnaan. Pengakuan bahwa KMA 1150 “belum fix” dan dapat dievaluasi menunjukkan kelenturan dan kesadaran untuk belajar. Ini bukan lagi birokrasi yang kaku, melainkan organisme yang responsif, yang bersedia beradaptasi dengan realitas.
Kedua, penyederhanaan nomenklatur Jabatan Pelaksana dari 622 menjadi hanya 25 jabatan, merupakan sebuah revolusi diam-diam. Ini memaksa kita untuk melihat Japel bukan sekadar sebagai “pelaksana tugas umum,” tetapi sebagai spesialis di bidang operasional.
Tertuang dalam KMA 900 Tahun 2023 dengan tegas menyatakan bahwa Japel dengan kelas jabatan 7 wajib memiliki kualifikasi S1, dengan masa tenggang hingga Tahun 2029. Ini adalah ultimatum sekaligus amanat. Sebuah panggilan untuk transformasi diri bagi 32.743 pegawai Japel di Kementerian Agama yang terdampak. Mereka yang selama ini menjadi backbone administrasi, kini ditantang untuk juga menjadi brain trust—gudang ilmu—dalam bidangnya masing-masing, apakah itu sebagai Penata Kelola Zakat, Pranata Kerukunan Umat Beragama, atau Editor Buku.
Tenggat waktu 2029 bukanlah ancaman, melainkan sebuah horizon waktu untuk metamorfosis. Ini adalah investasi terbesar pada manusia, sebuah pengakuan bahwa kapasitas intelektual adalah prasyarat bagi pelayanan publik yang berkualitas.
Tantangan Formasi
Dalam ekosistem JF, formasi adalah oksigen. Tanpanya, karir akan tersedak. Persoalan klasik terungkap: “lulus ukom ada 10 orang, tetapi formasi hanya 5 orang.”
Ini menciptakan sebuah tragedi birokratik: kompetensi yang telah teruji terpaksa mengantri dalam ruang hampa, menunggu lowongan yang tak kunjung datang. Mimpi untuk mencapai jenjang Ahli Utama, puncak piramida keahlian, seringkali mentok bukan karena ketiadaan kemampuan, melainkan karena ketiadaan “kursi” dalam struktur.
Solusi yang ditawarkan adalah mobilitas. Seorang Analis SDM Ahli Madya harus bersedia meninggalkan “zona nyaman” di Kantor Kabupaten/Kota jika formasi tersedia di satker lain. Ini memerlukan keberanian dan sistem manajemen mutasi yang lebih cair, yang memandang ASN sebagai aset kementerian, bukan hanya aset unit kerja.
Dari Mesin Birokrasi Menjadi Organisme yang Belajar
Arahan dari BKN tentang transformasi menuju Human Capital Management (HCM) adalah napas segar. Konsep ini menggeser paradigma SDM dari sekadar Administrative Expert—juru catat yang taat regulasi—menuju Strategic Partner dan Change Agent.
Dalam kerangka HCM, setiap JF dan Japel bukan lagi sekadar “posisi” yang harus diisi, melainkan “talenta” yang harus dikembangkan, dikelola, dan dihubungkan dengan tujuan strategis organisasi. Sistem manajemen talenta berbasis nine-box grid dan Aplikasi Kinerja BKN yang akan diterapkan di Tahun 2026 adalah alat untuk mewujudkannya.
Ini adalah panggilan untuk menghidupkan kembali etika pelayanan. Seorang Pustakawan Ahli Muda bukan hanya mengurus buku, tetapi adalah kurator peradaban. Seorang Pranata Humas bukan hanya membuat siaran pers, tetapi adalah juru bicara nilai-nilai keagamaan. Human Capital Management pada akhirnya adalah upaya untuk memanusiakan kembali birokrasi.
Epilog
Penataan JF dan Japel berdasarkan KMA 1150/2025 adalah sebuah perjalanan panjang, bermaksud baik, namun kerap terjebak dalam konteks formal. Masalahnya bukan pada teks regulasi, melainkan pada kesenjangan antara norma dan praktik.
Keberhasilan penataan jabatan tidak diukur dari banyaknya regulasi yang diterbitkan, melainkan dari sejauh mana kebijakan tersebut mampu menjawab persoalan riil di lapangan. Saatnya kita beranjak dari romantisme regulasi menuju implementasi yang substantif. Kunci keberhasilannya terletak pada:
- Kolaborasi Biro SDM dan Biro Ortala harus berjalan beriringan, seperti dua sayap pada burung yang sama.
- Data pada Unit Pembina JF harus berani menyampaikan peta sebaran yang realistis, bukan yang idealis.
- Fleksibilitas Regulasi harus menjadi pemandu, bukan penjara. Ia harus hidup, bernapas, dan beradaptasi.
Pada akhirnya, semua regulasi mulai dari UU ASN hingga KMA, bukanlah untuk menciptakan benteng birokrasi yang angkuh. Melainkan untuk membangun taman tempat nalar bertumbuh, keahlian dihargai, dan setiap insan aparatur dapat menemukan ruangnya untuk berkontribusi dengan paling bermartabat.
Kita bukan sedang menata jabatan. Kita sedang menata masa depan pelayanan publik yang lebih manusiawi.
Editor: Dewi Ayu Indah Diantiningrum
Fotografer: -
Terkini

Dua Pilar Hadapi PIPK 2025: Integritas Substansi dan Kelengkapan Administrasi
17 Oct 2025
Berita

Kemenag Masuk Tiga Besar Kementerian Berkinerja Terbaik Versi IndoStrategi
17 Oct 2025
Berita

Inilah Alasan Mengapa Humas Pemerintah Perlu Berani Berubah
17 Oct 2025
Berita

Hebat! Kini Santri Bisa Tangguh dan Mandiri Lewat Santripeneur
16 Oct 2025
Berita

Audiensi BRIN-BMBPSDM: DDKB 2024 untuk Layanan yang Terukur
16 Oct 2025
Berita
Opini Lainnya

Reposisi Widyaiswara Ahli Utama Pasca Keputusan Menteri Agama Nomor 1150 Tahun 2025
13 Oct 2025
oleh Sudirman Abdullah

Integritas Yang Terancam
07 Oct 2025
oleh Andriandi Daulay

"Birokrasi yang 'Lengah': Mengapa Masalah Klasik ASN Masih Perlu Diteriakkan?"
07 Oct 2025
oleh Andriandi Daulay

Binwin: Gerbang Strategis Memutus Mata Rantai Stunting
01 Oct 2025
oleh Agus Warcham

Standar yang Memerdekakan: Membangun Keotentikan ASN melalui Regulasi Pembelajaran yang Fleksibel
25 Sep 2025
oleh Andriandi Daulay