Memuat...

BMBPSDM Kementerian Agama RI

Memuat halaman...

Layanan Disabilitas

Ukuran Teks

Kontras

Pembaca Teks

Opini

"Birokrasi yang 'Lengah': Mengapa Masalah Klasik ASN Masih Perlu Diteriakkan?"

Selasa, 07 Oktober 2025
"Birokrasi yang 'Lengah': Mengapa Masalah Klasik ASN Masih Perlu Diteriakkan?"
Andriandi Daulay Analis Sumber Daya Manusia Aparatur Ahli Madya Kanwil Kemenag Riau

Oleh: Andriandi Daulay

Analis Sumber Daya Manusia Aparatur Ahli Madya Kanwil Kemenag Riau

Pekanbaru (BMBPSDM)---Dalam bayangan publik, Aparatur Sipil Negara (ASN) seringkali hadir dalam dua wajah ekstrem: pahlawan pelayanan yang tak kenal lelah, atau pemangku jabatan yang nyaman dalam "zona lengah". Sayangnya, realita seperti bolak-balik absen tanpa bekerja, pembebanan tugas ke junior, dan pengabaian jam kerja, masih menjadi cerita lama yang tak kunjung usai.

Dari lebih 4 juta ASN di Indonesia, hanya sedikit yang benar-benar memahami regulasi kepegawaian. Sementara pemerintah menerbitkan peraturan detail tentang disiplin. Ironisnya, banyak oknum yang berperilaku semaunya—seperti memiliki buku panduan lengkap tetapi memilih cara instan. Fenomena "buta regulasi" ini semakin memprihatinkan ketika banyak ASN lebih mengutamakan urusan pribadi daripada tanggung jawab pada jabatannya.

Lantas, di era transparansi dan tuntutan akuntabilitas tinggi ini, mengapa masalah klasik ini masih relevan dan justru harus terus dipublikasikan dan dikritisi?

Pertama, Publikasi adalah Bentuk "Shock Therapy" bagi Birokrasi yang Tertidur.
Ketika oknum ASN lalai akan Tugas Utama dan Fungsinya (Tusi) serta regulasi yang mengikatnya, itu adalah pertanda amnesia birokrasi. Mereka lupa bahwa gaji yang mereka terima adalah uang rakyat, dan setiap detik waktu yang dibayar negara harus dipertanggungjawabkan. Memublikasikan kelalaian ini bukan untuk menghakimi, melainkan sebagai terapi kejut untuk membangunkan mereka dari tidur nyenyak dalam rutinitas yang tanpa makna. Ini adalah pengingat keras bahwa jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa untuk bermalas-malasan.

Kedua, Ini Adalah Perlawanan terhadap "Budaya Absen" yang Merusak Rantai Nilai.

Praktik pagi absen lalu pulang, dan sorenya absen pulang lagi, bukan lagi sekadar pelanggaran disiplin. Itu adalah penipuan struktural. Perilaku ini meracuni budaya kerja, karena menciptakan persepsi bahwa "kehadiran fisik" lebih penting dari "kontribusi nyata". Dengan membeberkannya, kita memutus mata rantai kesepakatan diam-diam yang membiarkan kemunafikan birokrasi tumbuh subur. Kita menolak normalisasi ketidakjujuran yang kemudian dibebankan pada junior dan tenaga honorer yang terjepit.

Ketiga, Membongkar Ketidakadilan yang Disistematisir.

Banyak oknum senior yang merasa "lulus bertugas", sehingga semua pekerjaan dibebankan kepada yunior atau staf honorer. Ini bukan hanya soal malas, tapi sudah pada tingkat eksploitasi berkedok senioritas. Publikasi terhadap ketimpangan ini adalah bentuk pembelaan bagi para pegawai junior dan honorer yang suaranya sering tidak didengar. Ini adalah upaya untuk mendobrak budaya feodalistik yang masih bercokol di kantor-kantor pemerintah, dan menuntut keadilan redistribusi beban kerja.

Keempat, Menekan Pemimpin untuk Berani Memimpin, Bukan Hanya Menyetujui.

Kecemburuan sosial dan disiplin yang kendur seringkali bersumber dari ketidaktegasan pimpinan. Seorang pemimpin yang membiarkan pelanggaran, pada hakikatnya sedang menyetujui ketidakteraturan. Dengan mengangkat isu ini ke permukaan, kita memberikan pressure yang konstruktif kepada pimpinan untuk mengambil sikap. Bukan sebagai musuh, tapi sebagai mitra yang mendorong mereka untuk menjalankan perannya sebagai penjaga integritas dan kinerja instansi.

Kelima, Mengembalikan "Rasa Tanggung Jawab" sebagai Jiwa Pelayanan Publik.

Kurangnya rasa tanggung jawab pada sebagian oknum adalah kanker yang menggerogoti martabat birokrasi. Masalah ini harus terus diingatkan karena menyangkut hati nurani pelayanan. Dengan membicarakannya—secara terbuka dan kritis—kita sedang berusaha menanamkan kembali kesadaran bahwa setiap tugas yang dikerjakan (atau ditinggalkan) memiliki dampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Selembar surat yang terlambat diproses, bisa berarti seorang ibu tidak mendapat bantuan sosial. Sebuah data yang salah input, bisa menggagalkan program pemerintah.

 

Dari Ruang Kelam Menuju Terang Akuntabilitas
Masalah-masalah ini bukan aib yang harus ditutupi, tapi penyakit yang harus diobati dengan obat bernama transparansi. Mempublikasikannya bukan untuk mempermalukan institusi, tetapi justru untuk menyelamatkan martabat ASN secara keseluruhan. Ini adalah panggilan untuk kembali ke khittah: bahwa menjadi ASN adalah panggilan untuk melayani, bukan untuk dilayani; untuk bertanggung jawab, bukan berleha-leha; dan untuk membangun, bukan membebani.

Hanya dengan cahaya kritik yang terus menerus, ruang-ruang gelap birokrasi akhirnya bisa ditata ulang menjadi ekosistem yang sehat, adil, dan bermartabat.

 


Editor: Dewi Ayu Indah Diantiningrum

Fotografer: -