Loading...

Memuat halaman...

Opini

Keinginan yang Sesungguhnya Kita Inginkan

Jumat, 29 Agustus 2025
Keinginan yang Sesungguhnya Kita Inginkan
Ilustrasi: Arina.id

Suatu kali Maulana Jalaluddin Rumi berkata, "Saya harus curiga dengan apa yang saya inginkan." Pernyataan sufi Persia ini memiliki implikasi yang sangat dalam. Menghunjam relung, tepat di jantung eksistensi kemanusiaan kita. 

 

Berbicara tentang kita sebagai manusia seringkali jatuh dalam pembicaraan tentang daftar tak berujung keinginan-keinginan. Dari bangun pagi hingga saat membaringkan tubuh untuk tidur malam, otak dan hati kita dipenuhi gejolak ribuan keinginan. Bahkan saat tidur pun mimpi kita dipenuhi oleh daftar keinginan. 

 

Kalau kita renungkan, hari-hari kita adalah deret panjang dari satu keinginan ke keinginan lainnya. Sampai kita tak bisa membedakan antara kebutuhan dan kerakusan.

 

Tak pernah ada kata puas setiap kali sebuah keinginan terpenuhi. Secepat keinginan awal terpenuhi, secepat itu pula keinginan lain akan segera muncul. Kita bergegas mengejarnya. Semakin lama keinginan kita semakin kompleks. Cara kita untuk mendapatkannya juga semakin rumit. Sedemikian rumitnya hingga segala hal kita pertaruhkan, termasuk kemanusiaan kita. 

 

Awalnya kita mungkin hanya menginginkan uang ribuan. Selanjutnya jutaan. Berikutnya miliaran. Dan, keinginan itu terus menyeret kita semakin jauh ke dalam labirinnya. 

 

Kita disibukkan dengan mengejar keinginan hingga lupa mencari tahu apa sebetulnya yang sungguh-sungguh kita cari. Kita mengejar benda-benda yang kita anggap membawa kepada kebahagiaan sampai kita lupa apa itu bahagia. Kita sibuk mengejar barang-barang untuk mendapatkan keindahan hingga lupa arti keindahan. 

 

Pada akhirnya kita betul-betul lupa diri. Kita tidak tahu ke mana arah yang kita tuju. Kita tersesat dalam kesibukan memuasi keinginan demi keinginan. Sayangnya, kita semakin tak terpuaskan.

 

Sesungguhnya, akhir setiap cerita di dunia ini selalu sama. Ia menawarkan janji kesempurnaan. Kita mengejarnya dengan segala cara karena terobsesi dengan kepuasaan saat mendapatkannya. Tapi, begitu mendapatkannya, kita tak pernah menemukan kepuasan yang kita bayangkan dan kejar dengan mengorbankan segalanya itu. 

 

Begitu kita mendapatkannya, segera yang kita temui adalah perasaan biasa-biasa saja. Tak peduli apakah itu bernama cinta, harta, pangkat atau bahkan seks. Tapi kebodohan terus berulang. Kehidupan kita habis untuk mengulang-ulang, mengejar ilusi dunia itu. Terus dan terus. Mungkin sampai ketika kaki kita tak bisa lagi melangkah karena seluruh badan sudah kaku ditelan bumi.

 

Sumber: Arina.id


Editor: Arina.id

Fotografer: -