Opini
Menjadi Analis Kebijakan yang Profesional: Antara Kemampuan Teknis dan Integritas Etika
Penulis
Jakarta (BMBPSDM)---Indonesia sebuah negara yang menarik untuk dipelajari dan dikaji, apabila berangkat dari sisi kehidupan sosial yang terbentuk dengan berbagai keragaman yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyakarat. Dengan berprinsip sebagai negara kesatuan (unitary system) tentunya memerlukan manajemen yang teratur guna memberikan kualitas layanan kepada masyarakat. Ada dua kata yang menarik untuk dipetakan dalam memberikan layanan publik yaitu kata “pemerintah” dan “birokrasi”. Dalam pengertian sederhana, makna pemerintah lebih condong kepada “pengambil kebijakan” dan birokrasi sebagai “bentuk pelaksanaan layanan” yang diberikan.
Menurut Prof.Dr.Miftah Thoha, M.PA (2017), “Birokrasi merupakan suatu sistem yang awalnya menekankan pada kompetensi profesional jabatan dan yang rasional serta impersonal.” Bila beranjak dan mengikuti sudut pandang ini terkait birokrasi tentunya peran Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan kementerian dan lembaga tidaklah mudah. Penekanan kata “profesional” menunjukkan pentingnya kualifikasi dan kemampuan yang khusus dalam memberikan kualitas layanan kepada masyarakat.
Sama halnya apabila dilihat fungsi Jabatan Fungsional Analis Kebijakan yang ada di kementerian dan lembaga khususnya di Kementerian Agama RI. Dalam menjalankan tugasnya, jabatan ini dituntut untuk profesional dan dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang baik kepada para penentu kebijakan (decision maker policy). Apabila dilihat dari sisi sejarah, profesi Analis Kebijakan dapat merujuk kepada sudut pandang Wayne Persons (2001) bahwa, “ Analis Kebijakan berasal dari periode perang, terutama sejak munculnya OR (operations research) dan teknik analisis ekonomi. Karenanya, di antara jenis-jenis pertama analisis kebijakan analisis yang dilakukan dalam pembuatan kebijakan ekonomi dan pertahanan”.
Melihat sisi sejarah profesi analis kebijakan ini, tentunya jabatan fungisonal sudah cukup matang dan dianggap memiliki fungsi yang luar biasa apabila diterapkan di birokrasi. Namun, ada yang menarik terkait jabatan fungsional analis kebijakan ini yaitu terkait batasan dan sejauh mana peran analis kebijakan dalam menjalankan perannya di dalam birokrasi. Untuk itu, sangatlah penting apabila jabatan Analis Kebijakan ini memiliki organisasi profesi dan kode etik dalam menjalankan perannya di Kementerian Agama RI khususnya.
Riyandi Santoso (2024) menambahkan,“Selanjutnya kewajiban terkait sebagai Jabatan Fungsional (JF), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 Tahun 2020, khususnya pada Pasal 101 (organisasi profesi), ayat 1 (satu) organisasi profesi dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal penetapan. Dan ayat (2), “Setiap pejabat fungsional wajib menjadi anggota organisasi profesi JF”. Dengan penegasan bunyi ayat (2) pasal 101 PP Nomor 11 Tahun 2017, bahwa setiap analis kebijakan, sebagai jabatan fungsional tersebut “wajib” hukumnya menjadi anggota organisasi profesi.”
Pentingnya Organisasi Profesi Jabatan Fungsional, juga sama pentingya dengan “kode etik” bagi jabatan fungsional khususnya bagi Analis Kebijakan yang ada di Kementerian Agama RI. Seperti dikemukakan Riyandi Santoso (2024),”Etika merupakan konsep dasar dan menjadi pedoman perilaku bagi setiap manusia, sebagai individu maupun kelompok. Dimana pun dan kapan pun manusia berada, pasti selalu ada aturan atau norma-norma yang mengaturnya."
Kode etik bagi jabatan fungsional Analis Kebijakan akan menjadikan ASN tahu batasan dan tidakan yang bisa dan tidak bisa dilakukan khususnya dalam melakukan fungsinya menjalankan kemampuannya secara politis (political skill) sesuai dengan Permenpan RB Nomor 45 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Analis Kebijakan dan Angka Kredit pada pasal 27 ayat 2. Untuk itu, Jabatan Fungsional Analis Kebijakan harus mampu memahami “KODE ETIK ANALIS KEBIJAKAN” yang tertuang dalam “KODE ETIK ASOSASI ANALIS KEBIJAKAN INDONESIA (AAKI) yang disahkan pada 9 September 2016.
Dalam bukunya Riyandi Santoso (2024) menyampaikan,” Kode etik analis kebijakan dalam Organisasi AAKI mempunyai ruang lingkup berikut: (1) Kepribadian Analis Kebijakan, (2) hubungan dengan para Penentu Kebijakan, (3) Hubungan dengan Teman sejawat, (4) Hubungan dengan masyakarat dan (5) Pelaksanaan Kode Etik dan Sanksi. Melihat lima poin ini tentunya merupakan suatu kewajiban bagi analis kebijakan untuk memahami kode etik ini dalam menjalankan profesinya.
Editor: Abas
Fotografer: -
Terkini
Ekoteologi: Dari Perintah Agama Menuju Kedaulatan Ekologis
11 Nov 2025
Opini
Dorong Kemenag Berdampak, BMBPSDM Ukur Kinerja Layanan Keagamaan
11 Nov 2025
Berita
Pastikan Efektivitas Pelatihan, LAN Lakukan Monitoring Pembelajaran Berkelanjutan di Pusbangkom Kemenag
11 Nov 2025
Berita
Pahlawan dan Penjahat
10 Nov 2025
Opini
BDK Bandung Hadirkan Pelayanan Publik Berbasis Cinta di Era Digital
10 Nov 2025
Berita
Opini Lainnya
Ekoteologi: Dari Perintah Agama Menuju Kedaulatan Ekologis
11 Nov 2025
Pahlawan dan Penjahat
10 Nov 2025
oleh Ahmad Inung
Dilema Kecerdasan Buatan di Birokrasi: Antara Efisiensi dan Ancaman terhadap Kreativitas ASN
04 Nov 2025
oleh Ardiyanto Hasugian
Mengamalkan Iman, Melestarikan Lingkungan Menjaga Hubungan Harmonis Tuhan- Alam - Manusia (Tian 天 -Di 地 - Ren 人)
27 Oct 2025
Buku Ekoteologi: Mengamalkan Dharma, Menghidupkan Ecoreligiocultural
23 Oct 2025