Opini
Ekoteologi dalam Film Sore: Istri dari Masa Depan
Penulis
Jakarta (BMBPSDM)---Apa yang akan kita sesali jika hari esok ternyata hancur karena kita diam hari ini? Pertanyaan itu seperti menggema di benak setelah menyaksikan sebuah film yang belakangan ini sedang viral, Sore: Istri dari Masa Depan. Film yang pada mulanya terlihat sebagai kisah romansa, diam-diam menyisipkan pesan ekologis dan spiritual yang mendalam. Dialognya penuh rasa, bentangan visual lanskap yang menenangkan, dan perjalanan lintas waktu yang absurd namun menyentuh, tersimpan sebuah narasi yang lebih besar tentang bagaimana manusia memperlakukan dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya.
Film ini berkisah tentang Sore dan Jonathan, dua sosok yang mewakili waktu yang saling berkejaran. Sore datang dari masa depan dengan satu misi, yakni menyelamatkan Jonathan dari kebiasaan-kebiasaan buruknya yang berujung pada kematian di usia muda. Sedangkan, Jonathan muda digambarkan sebagai lelaki urban pada umumnya. Gemar berpesta, merokok, minum alkohol, begadang, dan mengabaikan kesehatan dirinya sendiri adalah kebiasaannya. Di sisi lain, Sore hadir sebagai simbol cinta yang ingin memperbaiki, menyembuhkan, dan menyelamatkannya. Namun, waktu tak bisa begitu saja diatur. Takdir tak bisa dilipat seperti kertas. Segala usaha Sore berakhir dengan kegagalan demi kegagalan. Akan tetapi, di tengah kegagalan itu muncul pertanyaan yang lebih besar, sebenarnya apa yang sedang ingin diselamatkan?
Pada tulisan ini, penulis mengajak untuk berbicara tentang ekoteologi. Sebuah konsep yang mungkin terdengar asing, namun sebetulnya sangat dekat dengan kehidupan. Ekoteologi berasal dari dua kata, yakni ekologi dan teologi. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Sedangkan teologi, berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Maka, ekoteologi adalah kesadaran bahwa menjaga alam bukan hanya tugas ekologis, tetapi juga tanggung jawab spiritual. Tuhan menempatkan manusia sebagai makhluk yang tidak hanya hidup di bumi, tapi juga terhubung secara vertikal dengan langit.
Ekoteologi menempatkan manusia sebagai penjaga, bukan penguasa. Sebagai makhluk yang diberi akal dan rasa, manusia diminta tidak hanya menebang, menguras, dan menghisap isi bumi, tetapi juga merawatnya dengan cinta. Cinta dalam konteks ini tidak cukup dengan kata-kata atau narasi besar. Cinta harus dimulai dari hal kecil, seperti dari pola hidup, kesadaran diri, dan/atau tubuh yang meski dijaga.
Itulah yang membuat karakter Jonathan menjadi paradoksal, di satu sisi Jonathan adalah seorang fotografer yang peduli pada perubahan iklim. Dirinya mengabadikan pencairan es di Kutub Utara, mengampanyekan tentang krisis lingkungan yang kian memburuk, dan memperlihatkan pada dunia bagaimana bumi sedang terluka. Namun, di sisi lain, Jonathan mengabaikan tubuhnya sendiri, merokok tanpa henti, menenggak alkohol seolah tak ada hari esok, dan menjalani hidup seakan waktu tak akan pernah habis. Dirinya mencintai bumi, namun membenci tubuhnya sendiri. Padahal tubuh itu bagian dari bumi juga, bukan?
Film ini menyuguhkan lanskap indah kota Kroasia yang damai, aurora yang menari di langit Antartika, dan beruang kutub yang bertahan hidup di tengah tumpukan es yang perlahan mulai mencair dan merusak habitatnya. Semua itu seperti lukisan yang membuat mata terpaku, hati terenyuh, dan pikiran bertanya-tanya ”apakah anak cucu kita masih bisa melihat semua itu? Atau semuanya hanya akan jadi wallpaper digital dari dunia yang telah musnah?”
Kutipan menarik yang hadir dalam film ini : “Kenapa senja selalu menyenangkan? Kadang dia hitam-kelam, kadang dia merah-merekah. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya.” Mungkin karena senja adalah momen yang jujur, tentang akhir yang tidak bisa dihindari, tapi bisa diterima. Begitu pula bumi hari ini. Bumi sedang senja, sedang menua, dan sedang merintih. Akan tetapi, bumi tetap memberi keindahan, meskipun dalam kelelahan. Kita, manusia, adalah langit yang seharusnya menerima dan merawat senja itu dengan penuh kasih.
Namun, bagaimana kita bisa menjaga alam jika kita bahkan tidak bisa menjaga tubuh sendiri? Bagaimana kita bisa menyelamatkan bumi jika yang kita hisap setiap hari adalah zat yang tak bisa membuat kita selamat? Bagaimana kita bisa bicara tentang keberlanjutan, jika gaya hidup kita sendiri adalah bentuk ketidaksadaran? Ekoteologi mengajarkan bahwa segala bentuk kerusakan dimulai dari dalam, dari cara berpikir, dari cara merasa, dan dari cara hidup.
Jonathan gagal menyelamatkan dirinya dan Sore-pun gagal menyelamatkan Jonathan. Namun, film ini tidak sedang menawarkan penyelamatan sempurna. Sore: Istri dari Masa Depan menawarkan kesadaran, bahwa hidup tidak bisa diulang, bahwa tubuh adalah bagian dari ekosistem, bahwa mencintai seseorang juga berarti membantu mereka menjadi sehat, menjadi utuh, dan menjadi sadar. Seperti halnya mencintai bumi, bukan hanya berarti mengunggah ulang konten kampanye lingkungan, tetapi juga menjalani hidup dengan pola yang tidak merusak.
Menjaga bumi tidak harus dimulai dari menanam seribu pohon. Bisa dimulai dari berhenti membuang puntung rokok sembarangan, dari tidak menyisakan makanan, dari memilih berjalan kaki jika memungkinkan, dari berkata jujur, dari istirahat yang cukup, dari tidak menertawakan orang yang peduli pada bumi, dari tubuh yang sehat, dan dari pikiran yang tenang.
Sore, dalam film ini, adalah personifikasi harapan. Sore datang dari masa depan membawa kekhawatiran, tapi juga membawa cinta. Sore tahu, bahwa masa depan tidak baik- baik saja dan dirinya tidak ingin menyerah. Upaya Sore untuk mengubah masa lalu adalah metafora tentang bagaimana generasi hari ini ingin memperbaiki luka generasi sebelumnya. Dan jika kita jujur, bukankah hari ini kita sedang melakukan hal yang sama?
Kita hidup di masa yang mewarisi banyak luka: krisis iklim, konflik sosial, kemerosotan etika, dan kerusakan spiritual. Akan tetapi, kita juga diberi kesempatan untuk menyadari, untuk memperbaiki dan untuk tidak lagi mengulangi. Semuanya dimulai dari tubuh ini, dari pikiran ini, dari hati yang percaya bahwa Tuhan tidak hanya hadir di tempat ibadah, melainkan juga di setiap dedaunan yang gugur, di setiap napas yang kita tarik, dan di setiap detik yang kita pilih untuk berubah.
Ekoteologi mengajarkan kepada kita bahwa menjaga bumi bukan semata-mata tentang teknik atau teknologi, tetapi juga tentang kesadaran spiritual. Bahwa bumi ini bukan milik kita, melainkan titipan yang harus dijaga, termasuk diri kita adalah titipan yang harus dijaga seutuhnya. Sebagai khalifah di muka bumi sudah sepantasnya kita mulai menjaga diri dan bumi, hal ini semata-mata bentuk pengabdian seorang hamba kepada pencipta-Nya.
Mungkin kita tidak bisa mengubah dunia hari ini. Akan tetapi, kita bisa memilih untuk tidak menambah lukanya. Mungkin kita tidak bisa kembali ke masa lalu seperti Sore, tapi kita bisa berbuat sesuatu hari ini agar masa depan tidak menangis. Jadi, ketika senja mulai tiba, mari kita bertanya lagi ”Apa yang akan kita sesali jika hari esok ternyata hancur karena kita diam hari ini?”
Editor: Abas
Fotografer: -
Terkini
UIN SGD Bandung Buka Program Magister Baru, Siap Cetak Lulusan Unggul
23 Oct 2025
Berita
Buku Ekoteologi: Mengamalkan Dharma, Menghidupkan Ecoreligiocultural
23 Oct 2025
Opini
BMBPSDM Ingatkan Pentingnya Moderasi Beragama Bagi Para Guru dan Pengawas Lintas Agama Se-Yogyakarta
23 Oct 2025
Berita
Tak Sekadar Alat, Ini Makna Teknologi dalam Kehidupan
23 Oct 2025
Berita
Semangat Tanpa Batas, Edwinsya Buktikan Disabilitas Bukan Halangan untuk Mengabdi
22 Oct 2025
Berita
Opini Lainnya
Buku Ekoteologi: Mengamalkan Dharma, Menghidupkan Ecoreligiocultural
23 Oct 2025
Langit Berbahasa, Langit Bercerita
22 Oct 2025
oleh Jafar Shodiq
Apologet terhadap Narasi Tunggal tentang Pesantren: Melihat dari Sejarah Kaya Kyai, Santri, dan Tradisi Asrama di Indonesia
22 Oct 2025
Menyambut Buku Ekoteologi: Merangkul Spiritualitas Interbeing Manusia dan Alam
22 Oct 2025
oleh Dewi Ayu Indah Diantiningrum
Ketika Pesantren Disalahpahami: Tafsir Tunggal di Era Digital
21 Oct 2025
oleh Firman Nugraha