Opini
Keinginan yang Sesungguhnya Kita Inginkan
Penulis
Suatu kali Maulana Jalaluddin Rumi berkata, "Saya harus curiga dengan apa yang saya inginkan." Pernyataan sufi Persia ini memiliki implikasi yang sangat dalam. Menghunjam relung, tepat di jantung eksistensi kemanusiaan kita.
Berbicara tentang kita sebagai manusia seringkali jatuh dalam pembicaraan tentang daftar tak berujung keinginan-keinginan. Dari bangun pagi hingga saat membaringkan tubuh untuk tidur malam, otak dan hati kita dipenuhi gejolak ribuan keinginan. Bahkan saat tidur pun mimpi kita dipenuhi oleh daftar keinginan.
Kalau kita renungkan, hari-hari kita adalah deret panjang dari satu keinginan ke keinginan lainnya. Sampai kita tak bisa membedakan antara kebutuhan dan kerakusan.
Tak pernah ada kata puas setiap kali sebuah keinginan terpenuhi. Secepat keinginan awal terpenuhi, secepat itu pula keinginan lain akan segera muncul. Kita bergegas mengejarnya. Semakin lama keinginan kita semakin kompleks. Cara kita untuk mendapatkannya juga semakin rumit. Sedemikian rumitnya hingga segala hal kita pertaruhkan, termasuk kemanusiaan kita.
Awalnya kita mungkin hanya menginginkan uang ribuan. Selanjutnya jutaan. Berikutnya miliaran. Dan, keinginan itu terus menyeret kita semakin jauh ke dalam labirinnya.
Kita disibukkan dengan mengejar keinginan hingga lupa mencari tahu apa sebetulnya yang sungguh-sungguh kita cari. Kita mengejar benda-benda yang kita anggap membawa kepada kebahagiaan sampai kita lupa apa itu bahagia. Kita sibuk mengejar barang-barang untuk mendapatkan keindahan hingga lupa arti keindahan.
Pada akhirnya kita betul-betul lupa diri. Kita tidak tahu ke mana arah yang kita tuju. Kita tersesat dalam kesibukan memuasi keinginan demi keinginan. Sayangnya, kita semakin tak terpuaskan.
Sesungguhnya, akhir setiap cerita di dunia ini selalu sama. Ia menawarkan janji kesempurnaan. Kita mengejarnya dengan segala cara karena terobsesi dengan kepuasaan saat mendapatkannya. Tapi, begitu mendapatkannya, kita tak pernah menemukan kepuasan yang kita bayangkan dan kejar dengan mengorbankan segalanya itu.
Begitu kita mendapatkannya, segera yang kita temui adalah perasaan biasa-biasa saja. Tak peduli apakah itu bernama cinta, harta, pangkat atau bahkan seks. Tapi kebodohan terus berulang. Kehidupan kita habis untuk mengulang-ulang, mengejar ilusi dunia itu. Terus dan terus. Mungkin sampai ketika kaki kita tak bisa lagi melangkah karena seluruh badan sudah kaku ditelan bumi.
Sumber: Arina.id
Editor: Arina.id
Fotografer: -
Terkini
UIN SGD Bandung Buka Program Magister Baru, Siap Cetak Lulusan Unggul
23 Oct 2025
Berita
Buku Ekoteologi: Mengamalkan Dharma, Menghidupkan Ecoreligiocultural
23 Oct 2025
Opini
BMBPSDM Ingatkan Pentingnya Moderasi Beragama Bagi Para Guru dan Pengawas Lintas Agama Se-Yogyakarta
23 Oct 2025
Berita
Tak Sekadar Alat, Ini Makna Teknologi dalam Kehidupan
23 Oct 2025
Berita
Semangat Tanpa Batas, Edwinsya Buktikan Disabilitas Bukan Halangan untuk Mengabdi
22 Oct 2025
Berita
Opini Lainnya
Buku Ekoteologi: Mengamalkan Dharma, Menghidupkan Ecoreligiocultural
23 Oct 2025
Langit Berbahasa, Langit Bercerita
22 Oct 2025
oleh Jafar Shodiq
Apologet terhadap Narasi Tunggal tentang Pesantren: Melihat dari Sejarah Kaya Kyai, Santri, dan Tradisi Asrama di Indonesia
22 Oct 2025
Menyambut Buku Ekoteologi: Merangkul Spiritualitas Interbeing Manusia dan Alam
22 Oct 2025
oleh Dewi Ayu Indah Diantiningrum
Ketika Pesantren Disalahpahami: Tafsir Tunggal di Era Digital
21 Oct 2025
oleh Firman Nugraha