Opini
Langit Berbahasa, Langit Bercerita
Penulis
(Untuk Hari Santri dan Para Penjaga Cahaya)
Puisi ini kutulis untukmu,
saudara-saudaraku yang menyalakan pagi dari dalam hati,
yang menimba ilmu dari sabar,
dan menegakkan cinta di tengah luka sejarah.
Langit berbahasa dalam diamnya,
awan-awan bercerita tentang para kiai
yang menanam doa di tanah luka,
yang menyiram bangsa ini dengan pengabdian.
Hujan pun turun bagai zikir panjang,
menyentuh bumi yang lelah,
mengalirkan air mata santri
yang belajar tentang arti merdeka tanpa amarah.
Pelangi menari di langit pesantren,
menjadi saksi bahwa perbedaan
bisa menjelma keindahan
jika disiram oleh keikhlasan.
Mentari terbit di ujung sajadah,
membangunkan dunia dengan hikmah,
menerangi wajah santri
yang menulis masa depan dengan huruf-huruf doa.
Lalu dari masa lalu terdengar suara,
lirih tapi tegas, lembut tapi dalam:
Kalau boleh, kutitipkan mimpi kami padamu, sahabat.
Masa depan yang tak sempat kami benahi,
karena kami terlalu sibuk mencari kebenaran bagi diri sendiri,
dan lupa pada kebenaran untuk sesama.
Kalau kamu sanggup,
tampunglah air mata mereka yang bergelimang susah,
karena kami dahulu terlalu sering berkeluh tentang hal-hal kecil.
Ceritakan padaku tentang matahari yang terbit pagi hari,
sebab kami terlalu lama mengutuki malam
hingga lupa bahwa cahaya itu selalu kembali.
Kami dulu ingin menjadi pembebas,
ingin menjadi pencerah,
namun kami terperangkap dalam kagum terhadap diri sendiri.
Kami bertengkar, kami lupa bersaudara.
Kini kami menitipkan mimpi itu padamu,
para santri, para penjaga nurani,
yang melangkah dengan ilmu,
yang berfikir luas tanpa kehilangan arah sujud.
Cepatlah ubah dunia sebelum dunia mengubahmu.
Sebelum marah menjadikanmu raksasa,
sebelum kecewa menjadikanmu kering.
Nyalakan sebanyak mungkin lilin,
agar jika suatu hari kau padam,
masih ada cahaya dari lilin-lilin lainnya.
Langit kembali berbahasa,
dengan warna aurora yang menari di ufuk jiwa.
Ia berkata,
inilah kisah yang tidak pernah selesai,
tentang ilmu yang menjadi cahaya,
tentang iman yang menjadi arah,
tentang persaudaraan yang tak lekang oleh waktu.
Dari nyalamu, sahabat,
akan kukenang cahayaku dulu.
Dari langkahmu,
akan kutahu bahwa mimpi kami tidak pernah benar benar usai.
Hari Santri, 22 Oktober 2025
Editor: Dewi Ayu Indah Diantiningrum
Fotografer: -
Terkini
Memaknai Kembali 32 JP: Sebuah Gerakan Menuju Fleksibilitas dan Inovasi dalam Pelatihan ASN
24 Oct 2025
Berita
UIN SGD Bandung Buka Program Magister Baru, Siap Cetak Lulusan Unggul
23 Oct 2025
Berita
Buku Ekoteologi: Mengamalkan Dharma, Menghidupkan Ecoreligiocultural
23 Oct 2025
Opini
BMBPSDM Ingatkan Pentingnya Moderasi Beragama Bagi Para Guru dan Pengawas Lintas Agama Se-Yogyakarta
23 Oct 2025
Berita
Tak Sekadar Alat, Ini Makna Teknologi dalam Kehidupan
23 Oct 2025
Berita
Opini Lainnya
Buku Ekoteologi: Mengamalkan Dharma, Menghidupkan Ecoreligiocultural
23 Oct 2025
Apologet terhadap Narasi Tunggal tentang Pesantren: Melihat dari Sejarah Kaya Kyai, Santri, dan Tradisi Asrama di Indonesia
22 Oct 2025
Menyambut Buku Ekoteologi: Merangkul Spiritualitas Interbeing Manusia dan Alam
22 Oct 2025
oleh Dewi Ayu Indah Diantiningrum
Ketika Pesantren Disalahpahami: Tafsir Tunggal di Era Digital
21 Oct 2025
oleh Firman Nugraha
Hari Santri: Meneguhkan Resolusi Peradaban melalui Moderasi Beragama
20 Oct 2025
oleh Moch. Muhaemin