Memuat...

BMBPSDM Kementerian Agama RI

Memuat halaman...

Layanan Disabilitas

Ukuran Teks

Kontras

Pembaca Teks

Opini

Ekoteologi: Dari Perintah Agama Menuju Kedaulatan Ekologis

Selasa, 11 November 2025
Ekoteologi: Dari Perintah Agama Menuju Kedaulatan Ekologis
Dokumentasi

Ekoteologi: Dari Perintah Agama Menuju Kedaulatan Ekologis

Oleh: Lakpesdam PBNU Abi S Nugroho 

 

Jakarta (BMBPSDM)---Keputusan Kementerian Agama menetapkan Ekoteologi sebagai instrumen kebijakan resmi yang terintegrasi dalam kerangka Asta Protas 2025-2029 dan selaras dengan RPJMN 2025-2029. Ini menandai sebuah langkah strategis paling berani dalam sejarah pembangunan keagamaan di level nasional. Buku panduan EKOTEOLOGI: Mengamalkan Iman, Melestarikan Lingkungan (Kemenag 2025) yang dirumuskan Kementerian Agama, bukan lagi menawarkan wacana etika baru, melainkan upaya Kementerian Agama, dengan struktur dan jaringannya secara sistematis memobilisasi modal sosial 279 juta umat beragama di Indonesia dalam menghadapi krisis ekologi yang semakin mendesak.

Artikel ini memberikan apresiasi atas fondasi konseptual Ekoteologi Kemenag, disusul kritik mendalam terhadap tantangan struktural dan implementasi, serta tinjauan strategis mengenai arah masa depan gerakan ini menuju kedaulatan ekologis Indonesia.

Episentrum Krisis: Ekoteologi sebagai Perintah Agama

Penempatan Ekoteologi sebagai program prioritas Kemenag, bisa dikatakan merupakan respons terhadap kegagalan pendekatan teknokratis yang umumnya dilakukan pemerintah. Menteri Agama, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., secara tegas mendiagnosis bahwa krisis ekologi yang melanda, mulai dari kerusakan Danau Tempe hingga ancaman pemanasan global, adalah “krisis moral, krisis spiritual, bahkan krisis peradaban”.

Akar masalahnya terletak pada pandangan antroposentrisme yang telah lama mereduksi bumi “hanya sebagai sumber daya untuk dieksploitasi, bukan rumah bersama yang harus dijaga”. Dengan mengklaim otoritas moral atas isu ini, Kemenag memposisikan diri sebagai kekuatan sentral yang memberikan legitimasi teologis. Mempertebal keyakinan bahwa merawat bumi adalah bagian dari iman dan ibadah. Ini adalah langkah sangat penting, sebab kebijakan lingkungan tidak lagi dipandang sebagai agenda teknis semata, melainkan sebagai perintah agama.

Pilar Paradigma: Kesatuan Iman, Ilmu, dan Amal

Ekoteologi Kemenag didirikan di atas tiga pilar operasional yang saling mengikat: Iman, Ilmu, dan Amal. Konsepsi ini dirancang guna mengatasi risiko retorika belaka. Pilar Iman menjadi fondasi bahwa menjaga alam adalah amanah Tuhan, menegaskan dimensi spiritual yang mengubah merawat bumi dari kewajiban sosial menjadi ibadah. Pilar Ilmu atau pengetahuan ilmiah menuntut bahwa aksi harus berbasis data dan fakta kondisi bumi, yang berfungsi sebagai mekanisme anti-greenwashing ritual agar aksi yang dilakukan terukur dampaknya secara empiris. Sementara Amal adalah jembatan yang menghubungkan iman dan ilmu, memastikan komitmen teologis tidak berhenti pada wacana, tetapi teraktualisasi dalam praktik hidup berkelanjutan.

Sintesis Iman, Ilmu, dan Amal ini merupakan prasyarat mutlak, yakni iman tanpa amal hanya akan menjadi retorika. Amal tanpa ilmu berisiko salah arah. Ilmu tanpa iman bisa kehilangan makna.

Erosi Kesalehan Sosial Ekologis

Meskipun fondasi teologis Ekoteologi Kemenag solid, data empiris menunjukkan adanya erosi yang signifikan dalam praktik di masyarakat, yang menjadi justifikasi utama perlunya intervensi kebijakan ini. Indeks Kesalehan Sosial (IKS) Kementerian Agama tahun 2022 menunjukkan skor keseluruhan yang tinggi (84,54), bahkan dimensi Etika dan Budi Pekerti mencapai 89,97. Namun, dimensi “Melestarikan Lingkungan” tertinggal jauh di angka 75,98 (2022).

Kesenjangan ini mengungkapkan adanya habituasi gap, yang berarti masyarakat Indonesia sangat patuh pada ritual keagamaan dan otoritas sosial, tetapi gagal menerjemahkan ketaatan tersebut menjadi kesalehan ekologis dalam praktik sehari-hari, seperti mengelola sampah atau pola konsumsi. Oleh karena itu, tugas utama Ekoteologi Kemenag adalah mengatasi kegagalan historis narasi keagamaan dalam memprioritaskan hubungan kosmologi dan ekologis agar setara dengan hubungan vertikal (ritual) dan horizontal (sosial).

Pilar Spiritual dan Solidaritas Lintas Iman

Kekuatan konseptual Ekoteologi Kemenag terletak pada kemampuannya merangkul konvergensi teologis universal, menjadikannya platform strategis untuk Moderasi Beragama. Buku ini secara eksplisit menunjukkan bahwa agama bukan penyebab konflik, tetapi sumber inspirasi untuk merawat bumi.

Seluruh agama besar di Indonesia memiliki akar ajaran ekologis yang kuat, menjamin bahwa gerakan Ekoteologi dapat memobilisasi kekuatan moral kolektif tanpa terjebak dalam perdebatan dogma.

Dalam Islam, manusia disebut Khalifah fil Ardh, yang bertugas menjaga keseimbangan alam (Mīzān) dan dilarang membuat kerusakan di darat dan laut. Bagi Kristen/Katolik, mandat Stewardship ditegaskan dalam kitab suci untuk mengusahakan dan memelihara taman Eden, mengelola ciptaan dengan kasih. Sementara Hindu mengajarkan Tri Hita Karana, yakni hubungan harmonis Manusia-Tuhan-Alam, yang menjadi basis Green Dharma. Buddha menyoroti Bhuvana Sati / Interbeing, kesadaran akan saling keterhubungan semua makhluk, di mana kerusakan alam menyebabkan penderitaan manusia. Terakhir, Khonghucu menekankan Sancai (Tian, Di, Ren) atau menjaga hubungan harmonis Langit, Bumi, dan Manusia agar kesejahteraan meliputi semesta. Pilar ini memfasilitasi solidaritas lintas iman yang menjadikan Ekoteologi sebagai gerakan yang melampaui batas-batas sektarian, merangkul pemahaman bahwa bumi adalah rumah bersama yang wajib dirawat demi generasi mendatang.

Ekoteologi Kemenag juga mengapresiasi kearifan lokal Nusantara sebagai manifestasi Lived Ecotheology yang telah teruji secara empiris. Praktik ini menunjukkan bahwa regulasi lingkungan yang paling efektif seringkali bersifat spiritual, sosial, dan lokal.

Beberapa contoh kunci yang diakui dan diintegrasikan meliputi Sasi di Maluku, yaitu larangan mengambil hasil laut dalam periode tertentu untuk memberikan waktu pemulihan alam; Subak di Bali, sistem tata spiritual dan sosial yang mengatur pembagian air sawah, yang telah diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia; serta Hutan Larangan, praktik masyarakat adat Kalimantan dan Minangkabau yang menjaga hutan sebagai wilayah sakral. Penyertaan kearifan lokal ini dalam kerangka kebijakan merupakan pengakuan substansial terhadap Komunitas Adat sebagai aktor konservasi utama, di mana upaya pelestarian didorong oleh keyakinan religius yang mengakar kuat.

Implementasi dan Kritik Struktural

Untuk menerjemahkan fondasi spiritual ini ke dalam aksi dan kebijakan, Ekoteologi Kemenag dirumuskan dalam lima dimensi fungsional. Dimensi Nasionalisme bertujuan membangun kesadaran bernegara untuk menjaga sumber daya alam, berfokus pada Kedaulatan Tanah, Air, dan Udara. Dimensi Keadaban Alam berdiri pada sikap menghormati Ciptaan dan terbuka terhadap kesucian alam, mendukung inisiatif Eco-Office atau KUA Hijau. Dimensi Kearifan Lokal bertujuan mengangkat nilai-nilai dan praktik tradisi lokal untuk mendukung Ekoteologi. Kemudian, dimensi Nilai Kemanfaatan Lingkungan secara cerdas menantang logika ekonomi eksploitatif dengan menuntut pengarusutamaan tata kelola yang adil dan memastikan adanya Imbal Jasa Lingkungan, memaksa pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan dengan pertimbangan kepentingan ekologis dan keberlanjutan. Terakhir, dimensi Kebijakan mengintegrasikan Ekoteologi ke dalam RPJMN dan regulasi di semua sektor.

Tantangan struktural terbesar bagi Ekoteologi adalah menjaga integritas moralnya di tengah kolaborasi yang tak terhindarkan dengan negara dan kepentingan ekonomi-politik. Meskipun kolaborasi dengan pemerintah dan dunia usaha diperlukan, risiko greenwashing ritual mengintai. Gerakan Ekoteologi berisiko tinggi terjebak pada retorika hijau yang menekankan seremoni (seperti penanaman pohon simbolis) tanpa menyentuh akar masalah struktural seperti industri ekstraktif skala besar atau konflik agraria. Jika hal ini terjadi, Ekoteologi akan kehilangan “suara profetiknya”, keberanian mengkritik kebijakan yang melegitimasi eksploitasi. Oleh karena itu, Kemenag harus secara eksplisit mewaspadai “solusi semu”, seperti mengandalkan teknologi yang belum matang sebagai alibi menunda pengurangan emisi nyata, atau praktik offsetting yang hanya memindahkan beban lingkungan dari satu tempat ke tempat lain.

Ekoteologi adalah gerakan yang mustahil berhasil jika hanya bergerak di ruang birokrasi Kemenag. Ia menuntut reformasi tata kelola dan sinkronisasi yang melampaui batas-batas kementerian yang menderita ego-sektoral. Defisit koordinasi merupakan policy bottleneck yang terjadi. Proyek strategis Kemenag seperti Eco-Office Kemenag atau KUA Hijau memerlukan kerja sama erat dengan kementerian teknis lain untuk standar bangunan hijau, skema energi terbarukan, dan pendanaan Wakaf Hijau. Kegagalan sinkronisasi regulasi dan perizinan antar-kementerian dapat membuat inisiatif ini terhenti.

Pelembagaan Pilar dan Pengukuran Dampak

Masa depan Ekoteologi Kemenag didasarkan pada Peta Jalan Praksis Ekoteologi yang dirancang sebagai gerakan terencana, terukur, dan berkelanjutan .

Roadmap Kemenag mengikuti urutan strategis yang menempatkan perubahan kognisi mendahului aksi fisik. Ini dimulai dari Komitmen Belajar yang memperdalam ajaran agama dan mengintegrasikan ilmu lingkungan, diikuti Transformasi Spiritualitas yang menghubungkan aksi lingkungan dengan nilai spiritual, menumbuhkan kesadaran bahwa merawat bumi adalah ibadah. Kemudian berlanjut pada Penerapan Aksi melalui implementasi rumah ibadah ramah lingkungan, gerakan konservasi lintas iman, dan pengembangan ekonomi hijau berbasis pesantren.

Tahapan ini disokong oleh Penguatan Kebijakan dan Budaya untuk mendorong regulasi ramah lingkungan dan mengintegrasikan Ekoteologi ke dalam RPJMN, dan diakhiri dengan Evaluasi dan Pengembangan melalui survei nasional kesadaran lingkungan dan pemantauan capaian tahunan. Urutan ini merupakan strategi yang tepat untuk mengatasi Habituasi Gap (skor IKS rendah), dengan menginvestasikan sumber daya pada kognisi dan nilai sebelum menuntut perubahan struktural dan aksi fisik berskala besar.

Implementasi Empat Pilar Strategis

Strategi implementasi memfokuskan aksi Ekoteologi pada empat pilar utama :

1.     Pilar Aparatur (SDM): Mentransformasi 290.955 ASN Kemenag menjadi pionir birokrasi hijau. Program KUA Hijau (Aman, Sejuk, Rindang, Indah) merupakan manifestasi kunci, mengubah kantor layanan publik menjadi teladan ekologis (efisiensi energi, penghijauan vertikal, pengelolaan sampah).

2.     Pilar Pendidikan: Mengintegrasikan Ekoteologi ke dalam kurikulum di 199.706 satuan pendidikan. Tujuannya adalah membentuk generasi muda yang yakin bahwa iman sejati adalah iman yang menghadirkan rahmat bagi seluruh ciptaan.

3.     Pilar Layanan Keagamaan: Memanfaatkan 1,34 juta rumah ibadah sebagai pusat teladan ekologis: bebas plastik, hemat energi, dan hijau. Ini mencakup gerakan Masjid Hijau, Gereja Ramah Lingkungan, dan pengarusutamaan Ekoteologi dalam khotbah/ceramah keagamaan.

4.     Pilar Kemitraan: Memperluas gerakan menjadi kolektif, melibatkan ormas keagamaan besar, NGO, akademisi, dan Komunitas Adat .

Filosofi Ekoteologi yang dianut Kemenag menjamin keadilan ekologis antar generasi . Prinsip moral bahwa “Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang; kita meminjamnya dari anak-cucu” memberikan bobot spiritual yang substansial pada keputusan investasi dan konsumsi saat ini. Perspektif ini mengubah tindakan lingkungan menjadi sebuah amal jariyah (kebaikan yang pahalanya terus mengalir) atau, sebaliknya, sebuah dosa jariyah jika menyebabkan kerusakan jangka panjang yang membebani generasi penerus.

Keberhasilan Ekoteologi sangat bergantung pada sistem pemantauan yang ketat dan terukur. Indikator kunci yang telah disusun, seperti jumlah rumah ibadah hijau, modul pembelajaran Ekoteologi, dan regulasi ramah lingkungan, harus dipantau secara serius .

Sistem evaluasi mengacu pada lima dimensi (Nasionalisme, Keadaban Alam, Kearifan Lokal, Nilai Kemanfaatan Lingkungan, Kebijakan) sebagai ujian akuntabilitas birokrasi Kemenag. Pengukuran dampak final adalah sejauh mana Ekoteologi berhasil mengatasi habituasi gap dengan mencapai skor IKS dimensi lingkungan yang setara dengan dimensi ketaatan ritual, serta berhasil masuk dan mengunci arah RPJMN 2030–2034 .

Kesimpulan

Ekoteologi Kemenag 2025 merupakan langkah revolusioner yang memanfaatkan modal sosial terbesar Indonesia, nilai-nilai keagamaan untuk mengatasi krisis peradaban. Dengan memberikan legitimasi teologis bahwa merawat bumi adalah ibadah, Kemenag telah membuka ruang bagi Indonesia untuk tampil sebagai teladan dunia.

Namun, keberhasilan ini adalah sebuah tantangan. Untuk berevolusi dari sekumpulan praktik baik menjadi kekuatan kolektif yang transformatif, Ekoteologi harus secara gigih:

1.      Mengatasi Defisit Moral: Mengubah skor IKS dimensi lingkungan yang rendah menjadi kebiasaan hidup sehari-hari yang setara dengan ketaatan ritual, menjadikan setiap tindakan ekologis sebagai doa.

2.      Menjaga Integritas Profetik: Menguatkan jejaring NGO, akademisi, dan Komunitas Adat untuk mempertahankan suara kritis terhadap ketidakadilan struktural dan menolak solusi semu yang didorong kepentingan ekonomi-politik.

3.      Memastikan Sinergi Lintas Sektor: Menggunakan kekuatannya untuk mendisiplinkan koordinasi antar-kementerian teknis, memastikan bahwa cita-cita KUA Hijau dan Eco-Pesantren didukung oleh regulasi energi, tata ruang, dan pembiayaan yang kredibel.

Ekoteologi adalah ujian besar bagi iman kebangsaan kita. Jika umat manusia mengubah paradigmanya dari eksploitatif menjadi penuh kasih, dari sikap abai menjadi peduli, maka Indonesia dapat mewujudkan visi kedaulatan tanah, air, dan udara yang lestari, menghadirkan rahmat bagi seluruh ciptaan.


Editor: -

Fotografer: -