Opini
Dilema Kecerdasan Buatan di Birokrasi: Antara Efisiensi dan Ancaman terhadap Kreativitas ASN
Penulis
Jakarta (BMBPSDM)---Kemajuan teknologi dalam kehidupan masyarakat mengubah cara pandang dan tindakan individu atau kelompok saat ini. Keterbukaan informasi di semua lini kehidupan masyarakat yang sangat cepat membuat masyarakat dapat dengan mudah mencapai target dan tujuan yang akan dicapai.
Makna keterbukaan informasi itu sendiri di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 Ayat 1 berbunyi: “Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik atau nonelektronik”.
Artificial Intelligence (IA) merupakan salah satu wujud dari perkembangan teknologi itu sendiri, dibuat melalui proyek “Kecerdasann Buatan” guna memudahkan manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan Artificial Intelligence (IA) bisa dikategorikan sebagai “alat informasi elektronik” karena maknanya sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 1 Ayat 1 yang berbunyi: “Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), suara elektronik (Electronic Mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh seorang yang mampu memahami.”
Sudut pandang ini senada dengan pandangan Riandy Kadwi Nugraha (2025) yang mengatakan “ChatGPT adalah salah satu contoh bagaimana teknologi kecerdasan buatan bisa membuat hidup kita lebih mudah.” Bahkan di beberapa literasi buku mengatakan diksi KB (Kecerdasan Buatan) sangat menarik untuk dibicarakan dan dikaji lebih dalam lagi terkait akan manfaat penggunaan dan batasan yang jelas untuk menghindari pembunuhan sisi terbaik manusia yang indah yaitu “kreativas.”
Ketakutan akan penggunaan Artificial Intellingence (AI) yang membunuh “kreativas” layak untuk dimaknai dan ditinjau ke depannya. Khususnya penggunaannya di lingkup “birokrasi pemerintah”, dimana dalam menjalankan fungsinya untuk melayani (serve) masyarakat dibutuhkan kecepatan dan tepat guna. Hal ini cukup beralasan karena banyak ASN (Aparatur Sipil Negara) menggunakan Artificial Intelligence (IA) untuk memudahkan pekerjaan tanpa mampu membedakan keaslian karya yang ditawarkan untuk dijadikan suatu pijakan atau kebijakan dan sejauh mana Artificial Intelligence (IA) dapat digunakan.
Apabila berkaca pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik di lingkungan Kementerian/Lembaga Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Milik Negara Pasal 1 Ayat 1 Berbunyi: “Inovasi pelayanan publik yang selanjutnya disebut inovasi adalah terobosan jenis pelayanan publik, baik yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptis/modifikasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.” Tentunya ASN dalam menjalankan tugasnya membutuhkan kreativitas yang dapat mendorong pembaruan dan kemudahan layanan publik yang lebih baik. Dan inilah yang menjadi problema ke depannya terkait penggunaan Artificial Intelligence (IA) di lingkungan kerja Kementerian/Lembaga baik di pusat maupun daerah.
Muncul pertanyaan “Apabila Artificial Intelligence (IA) mampu membantu kinerja, bagaimana kita memandang dari sudut regulasi dan kode etik yang membatasi penggunaanya?” Dan “Apakah penggunaan Artificial Intelligence (IA) dalam lingkungan kerja di Kementerian Agama RI suatu kebijakan yang tepat dan diperjelas dengan tidak adanya regulasi yang mengatur terkait penggunaan Artificial Intelligence (IA) di Indonesia?”
Pertanyaan tersebut juga sama dengan ketakutan yang disampaikan Yuval Noah Harari (2025) yang mengatakan “Apa yang akan terjadi pada pasar kerja ketika kecerdasan artifisial melampaui manusia dalam sebagian besar tugas-tugas kognitif? Tidak adanya batasan antara fungsi Artificial Intelligence (IA) dan manusia itu sendiri, baik secara regulasi maupun kode etik pengunaannya, akan menciptakan polemik tersendiri yang tentunya harus diselesaikan dari awal sebelum penggunaan Artificial Intelligence (IA) benar-benar disuarakan penggunaanya di Kementerian/Lembaga khususnya di Kementerian Agama Republik Indonesia.
Ardiyanto Hasugian, Analis Kebijakan Pusat Strategi Kebijakan Pembangunan Bidang Agama
Editor: Abas
Fotografer: -
Terkini
BMBPSDM Kemenag Garap SDM dengan Fondasi Nilai Kebersamaan dan Kejujuran
05 Nov 2025
Berita
Kemenag dan LAN Perkuat Kolaborasi Untuk Akreditasi Pelatihan Moderasi Beragama Nasional
04 Nov 2025
Berita
Dari Rumah untuk Negeri: DWP BMBPSDM Dorong Keluarga Moderat dan Cakap Digital
04 Nov 2025
Berita
Kepala BMBPSDM Tekankan Pentingnya Integritas dan Nilai Pengabdian dalam Pelatihan ASN
31 Oct 2025
Berita
Santri Dituntut Jadi Inovator Digital: Transformasi Kitab Kuning Menjadi Konten Inspiratif
30 Oct 2025
Berita
Opini Lainnya
Mengamalkan Iman, Melestarikan Lingkungan Menjaga Hubungan Harmonis Tuhan- Alam - Manusia (Tian 天 -Di 地 - Ren 人)
27 Oct 2025
Buku Ekoteologi: Mengamalkan Dharma, Menghidupkan Ecoreligiocultural
23 Oct 2025
Langit Berbahasa, Langit Bercerita
22 Oct 2025
oleh Jafar Shodiq
Apologet terhadap Narasi Tunggal tentang Pesantren: Melihat dari Sejarah Kaya Kyai, Santri, dan Tradisi Asrama di Indonesia
22 Oct 2025
Menyambut Buku Ekoteologi: Merangkul Spiritualitas Interbeing Manusia dan Alam
22 Oct 2025
oleh Dewi Ayu Indah Diantiningrum