Memuat...

BMBPSDM Kementerian Agama RI

Memuat halaman...

Layanan Disabilitas

Ukuran Teks

Kontras

Pembaca Teks

Opini

Binwin: Gerbang Strategis Memutus Mata Rantai Stunting

Rabu, 01 Oktober 2025
Binwin: Gerbang Strategis Memutus Mata Rantai Stunting
Agus Warcham

 Oleh : Agus Warcham (Analis Kebijakan Madya Sekretariat Jenderal)

 

Jakarta (BMBPSDM)---Banyak orang tua tidak menyadari bahwa ketercukupan gizi bagi anak tidak hanya saat anak terlahir, namun juga sejak masih di dalam kandungan sang ibu. Stunting terjadi saat anak mengalami kondisi gagal tumbuh yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi yang kurang optimal, terutama dalam periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Dalam perhitungan tumbuh kembang anak, 1.000 HPK dimulai sejak masa kandungan selama 9 bulan dan 10 hari hingga anak berusia 2 (dua) tahun. Ciri anak yang mengalami stunting umumnya memiliki tinggi badan lebih rendah dibandingkan dengan anak seusianya, namun dampaknya tidak hanya terlihat secara fisik. Bahayanya, stunting juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan otak, kecerdasan, produktivitas, dan daya saing bangsa di masa depan.

 

Stunting termasuk salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sampai dengan saat ini masih menjadi perhatian serius pemerintah. Sebelum tahun 2010, tema stunting belum digunakan dalam program prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah, namun telah melakukan upaya pencegahannya dengan penanganan gizi buruk dan masyarakat kurang gizi dengan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Baru pada 2017 pemerintah menggunakan kata stunting dalam dokumen kebijakan, seiring dengan dibentuknya sebuah Satgas yang menjalan­kan fungsi dalam Strategi Nasional Per­cepatan Pencegahan Stunting (Stranas Stun­ting).

 

Tahun berikutnya semakin di­gen­carkan dalam bentuk Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dan Program Percepatan Pencegahan Stunting, dengan melibatkan aparatur terkait dan lintas sektoral sifatnya. Termasuk sosialisasi 1.000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) agar generasi masa depan tumbuh sehat. Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode ke-2 stunting telah pula dimasuk­kan dalam RPJMN 2020-2024. Selanjutnya di era pemerintahan Presiden Prabowo, pemerintah sedang menyusun Rancangan Perpres yang akan mengatur lebih baik lagi dalam proses pencapaian pencegahan dan penurunan stunting sebagai revisi dari Perpres No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

 

Stunting bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi juga menyangkut pembangunan sumber daya manusia (SDM). Anak yang sehat, cerdas, dan tumbuh optimal adalah investasi masa depan bangsa. Pencegahan stunting membutuhkan intervensi yang terintegrasi, serta keterlibatan berbagai sektor, mulai dari kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum hingga peningkatan peran keluarga dan masyarakat. Pemerintah Indonesia telah menjadikan penurunan prevalensi stunting sebagai salah satu program prioritas nasional. Upaya ini dilaksanakan melalui berbagai program, seperti peningkatan gizi ibu hamil, pemenuhan ASI eksklusif, imunisasi lengkap, penyediaan sanitasi layak, dan edukasi pola asuh keluarga.

 

Data Prevalensi yang digunakan untuk mengukur epidemiologi (pola, penyebab, dan dampak masalah kesehatan) menunjukkan jumlah suatu kasus penyakit dalam satu populasi dan periode waktu tertentu sejak tahun 2023 menunjukkan angka yang fluktuatif. Berikut data dimaksud:

 

Oleh karena itu, adanya kolaborasi lintas sektor, lintas kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah serta keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama, diharapkan melahirkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat yang dapat menjadi kunci keberhasilan dalam upaya percepatan penurunan stunting.  Membangun SDM juga bukan aspek fisik semata, namun aspek non-fisik tidak kalah pentingnya agar menghasilkan generasi/keturunan yang tidak hanya sehat secara fisik namun juga sehat secara mental dan spiritual.  Bila ditarik ke depan, proses penyiapan pasangan yang akan menikah berawal dari pembekalan yang diikuti sebelum pelaksanaan pernikahan.

 

Permasalahan

Bimbingan Perkawinan atau yang lebih sering kita dengar dengan Binwin (dahulu program ini di lingkungan KUA disebut Suscatin atau Kursus Calon Pengantin) bukan sekadar seremonial atau simbolis sebagai pertanda setiap pasangan sudah siap maju ke gelanggang mahligai rumah tangga. Namun, banyak sekali nilai-nilai yang ditanamkan saat pasangan calon pengantin menerima bimbingan dari pemateri. Untuk pasangan yang beragama Islam, Binwin disampaikan oleh penghulu di Kantor KUA dan ini menjadi satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah proses pencatatan pernikahan di KUA. Sedangkan untuk pasangan yang beragama selain Islam dilakukan di rumah ibadah oleh pemuka agama masing-masing.

 

Penting bagi setiap pasangan yang ingin menikah, sebelum menjalin hubungan resmi dalam bingkai pernikahan telah memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup tentang dunia perkawinan yang akan dimasuki. Tidak sekadar nafsu dan keinginan sesaat untuk meresmikan hubungan keduanya. Namun, lebih dari itu tujuan membentuk keluarga yang sehat, bahagia, dan melahirkan generasi penerus yang mampu bersaing berbekal kecerdasan yang dimiliki. Karenanya  sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing, baik Binwin yang dilakukan di KUA maupun di rumah ibadah lebih kepada penyampaian pesan-pesan moral berlandaskan nilai-nilai agama agar rumah tangga yang dibentuk menjadi langgeng, tidak mudah terkoyak karena godaan yang besar  dan mengganggu keutuhan rumah tangganya, serta nilai-nilai ibadah yang dapat dilakukan oleh suami istri untuk membahagiakan pasangannya masing-masing dan terpenting adalah melahirkan keturunan dan mendidik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

 

Namun, Binwin dalam aspek kesehatan oleh SDM yang menguasai secara keilmuan dinilai belum maksimal dilakukan dan terintegrasi dalam satu program yang terpadu. Pelaksanaan Binwin dalam aspek kesehatan masih dilakukan secara ‘sporadis’ dan sangat tergantung pada keaktifan dari setiap calon pengantin untuk mencari tahu dari sumbernya. Aspek kesehatan dimaksud seperti menjaga kesehatan alat reproduksi, membuat sanitasi, kesehatan lingkungan, dan Perilaku Hidup Bersih Sehat atau PHBS, termasuk memperhatikan sumber air minum yang sehat untuk keluarga dengan menjaga jarak aman sumur pompa dengan septic tank, menjaga gizi keluarga, serta menjaga kesehatan mental dan psikologis.

 

Di sinilah titik awal dalam pencegahan terjadinya stunting. Setiap pasangan yang belum memiliki ketercukupan usia minimal dalam perkawinan harus dapat dicegah  untuk tidak menghasilkan generasi yang memiliki potensi risiko terjadinya stunting[1]. Apapun alasannya yang tidak terlalu penting untuk diberikan kemudahan (dispensasi), maka pernikahan usia dini mutlak harus dicegah. Di sisi lain, setiap calon pengantin belum tentu memberi perhatian yang cukup penting terhadap program Binwin sebelum nikah. Idealnya setiap pasangan (calon pengantin laki-laki dan wanita) hadir keduanya mengikuti Binwin.

 

Bila didalami penyebab ketidakhadiran, didapat keterangan bahwa mereka tidak mendapat ijin dari atasannya di kantor/perusahaan tempatnya bertugas karena keterbatasan ijin cuti yang dapat diberikan. Dan mereka lebih memberatkan pada penggunaan hak cuti untuk acara pernikahan dan setelahnya.

 

Sebagai sampel, penulis sampaikan data kegiatan Binwin pada 4 (empat) KUA Kecamatan di wilayah kerja Kantor Kementerian Agama Kabupaten Indramayu dalam 3 tahun terakhir:

 

 

Berdasarkan data di atas, jumlah pasangan calon pengantin yang keduanya tidak mengikuti Binwin masih tergolong tinggi. Bahkan terdapat KUA Kecamatan di atas 50% calon pengantin keduanya tidak mengikuti Binwin. Dan penghulu yang bertugas melakukan pencatatan pernikahan tidak kuasa menolak bilamana sampai dengan  hari H perkawinan dilangsungkan. Artinya, calon pengantin tetap dapat melangsungkan pernikahan meskipun tidak mengikuti Binwin.

 

Idealnya, pencatatan perkawinan tidak sekadar mencatat setiap pasangan yang melangsungkan pernikahan. Namun, proses yang mendahului dan sangat menentukan kesiapan pasangan tersebut melangsungkan pernikahan harus juga tercatat termasuk Binwin. Tujuannya agar saat setelah menikah dan menghasilkan keturunan lalu terindikasi stunting dapat dihubungkan dengan proses yang pernah dilalui sebelumnya, apakah pernah mengikuti Binwin atau tidak sebelum menikah. Bagi umat Islam yang menikah dan tercatat di KUA,  bimbingan perkawinan juga tercatat di KUA. Namun, bagi umat selain Islam yang melangsungkan pencatatan perkawinan di Catatan Sipil, dan pembinaan perkawinan dilakukan di rumah ibadah masing-masing, sudah saatnya dibangun sistem dan koordinasi yang erat antara pejabat Penyelenggara Bimas Agama di Kementerian Agama Kabupaten/Kota dengan rumah-rumah ibadah yang mengadakan Binwin untuk calon pengantin agar pelaksanaan Binwin dapat lebihi terkontrol, terkendali, dan dapat diketahui data riilnya, baik secara kewilayahan maupun secara nasional.

 

Kesimpulan

 

Kementerian Agama yang melakukan pembinaan perkawinan pada semua calon pengantin diharapkan dapat mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut :

 

Pertama, melakukan agenda Binwin terpadu secara berkala sekali dalam satu bulan yang melibatkan Kementerian Agama (KUA Kecamatan), Penyuluh Agama, Kementerian Kesehatan (Penyuluh Kesehatan Masyarakat/PKM), Kementerian Kependudukan dan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di tingkat Kabupaten/Kota,  Kementerian Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak,  serta akademisi. Dalam kegiatan tersebut setiap unsur dapat secara bergantian memberikan arahan dan nasehat kepada calon pengantin dalam aspek tugas dan fungsinya masing-masing. Pola pembiayaan dapat menggunakan sharing cost agar tidak menjadi beban salah satu instansi. Binwin terpadu seperti ini tidak hanya dapat menyasar calon pengantin melainkan juga dapat menyasar anak usia sekolah dengan mengambil satu momen tertentu yang disepakati oleh pihak sekolah tanpa mengganggu waktu belajar.  Metode ini dianggap penting untuk membuka pemahaman dan pengetahuan siswa bahwa pernikahan sebaiknya dilakukan saat pasangan siap secara moril dan materil, serta fisik dan mental.

 

Kedua, membuat satu skema koordinasi dalam bentuk monitoring kepada seluruh Penyelenggara Bimas Agama untuk menarik data pelaksanaan Binwin di rumah ibadah masing-masing dengan beberapa kategori: a) diikuti kedua calon pengantin, b) diikuti oleh salah satu calon pengantin, dan d) tidak diikuti oleh kedua calon pengantin. Data dimaksud secara berjenjang disampaikan ke Direktorat Urusan Agama masing-masing di Jakarta melalui Pembimas/Kepala Bidang Urusan Agama di Kanwil. Bila kunjungan ke lokasi tidak mungkin untuk dilakukan dengan beberapa sebab, data dapat diperoleh melalui kunjungan Penyuluh Agama ke jemaat atau umatnya saat melakukan penyuluhan serta menggunakan media komunikasi Whatsapp bila jaringan  memungkinkan.

 

Ketiga, membuka peluang dibuat Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama dan Menteri Ketenagakerjaan mengenai hak cuti bagi setiap pekerja untuk mengikuti Binwin. Tujuannya agar tidak ada lagi kendala, hambatan setiap pekerja yang akan mengikuti Binwin di hari kerja dan jam kerja. Setelahnya Kementerian Agama dapat membuat regulasi yang menjadikan Binwin sebagai kewajiban untuk diikuti kedua pasang calon  pengantin sebelum melangsungkan pernikahan. Termasuk larangan bagi penghulu untuk melakukan pencatatan pernikahan bilamana keduanya tidak/belum mengikuti Binwin.

 

Keempat, Ditjen Bimas Agama masing-masing membuat model Binwin yang lebih variatif, tidak hanya diikuti secara tutorial tatap muka, melainkan dapat dengan online secara MOOC (Massive Open Online Course) sebagaimana pernah diterapkan saat pandemi covid-19 lalu. Setiap calon pengantin dapat mengikuti Binwin secara daring (dalam jaringan),  dimanapun dan kapanpun. Perlu pemantauan secara sistem  dibuat apabila calon pengantin tidak membuka video Binwin yang diunduh dan menyimak sampai selesai maka sertifikat Binwin tidak dapat keluar dan pencatatan pernikahan belum dapat dilakukan.

 

 

Referensi

 

  1. Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (jo. UU Nomor 16 Tahun 2019)
  3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
  4. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025-2029.
  5. Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Kep.38/M.PPN/HK/07/2025 tentang Daftar Objek Manajemen Risiko Pembangunan Nasional Lintas Sektor dan Unit Pemilik Risiko Lintas Sektor Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025 dan Tahun 2026.
  6. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) Nomor 26 Tahun 2016 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kesehatan Masyarakat
  7. Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan
  8. PMA Nomor 20 Tahun 2019 tentang Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin
  9. Keputusan Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Nomor 379 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Bimbingan Perkawinan Bagi Calon Pengantin.
  10. Nota Kesepahaman (MoU) antara Kemenag–Kemenkes–BKKBN (2019)

Editor: Abas dan Sri Hendriani

Fotografer: Sri Hendriani