Opini
Tirakat Kemerdekaan sebagai Bentuk Pendidikan Kewargaan yang Membumi
Penulis
Jakarta (BMBPSDM---Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga mencakup kebebasan untuk hidup damai dan setara dalam keberagaman. Indonesia adalah rumah bagi ratusan suku, bahasa, budaya, dan agama. Berdasarkan data Ditjen Dukcapil Kemendagri per Juni 2025, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 286.693.693 jiwa. Mereka memeluk enam agama resmi serta berbagai kepercayaan lokal.
Dalam konteks ini, harmoni antarumat beragama bukanlah hal sepele, melainkan penentu arah dan masa depan bangsa. Para pendiri negeri ini, seperti Soekarno dan Hatta, menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia tidak dapat berdiri tegak tanpa semangat kebinekaan. Kelahiran Pancasila sebagai dasar negara mencerminkan nilai-nilai universal, seperti Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Nilai-nilai ini sebagai penghormatan terhadap perbedaan serta penegakan martabat manusia, tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaan.
Namun, realitas di lapangan masih jauh dari cita-cita itu. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan meningkatnya ketegangan antarumat beragama, tumbuhnya intoleransi, hingga kekerasan atas nama keyakinan. Ironisnya, semua itu terjadi di negeri yang mengaku menjunjung tinggi Pancasila.
Oleh karena itu, Hari Kemerdekaan harus menjadi momentum untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu intoleransi. Negara wajib hadir untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dijamin dalam konstitusi.
Malam Tirakat
Di kampung-kampung Jawa dan berbagai daerah lainnya dilakukan kegiatan malam tirakat 17 Agustus. Kegiatan ini menjadi ruang spiritual sekaligus kultural, tempat warga berkumpul untuk merenungi makna kemerdekaan dan merekatkan kembali ikatan sosial sebagai komunitas.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tirakat berarti menahan hawa nafsu melalui puasa atau pantangan tertentu, yang disertai dengan amalan-amalan khusus. Istilah tirakat berasal dari kata Arab thariqah, yang berarti jalan atau jalan spiritual, sebuah proses pencarian makna hidup dan kedekatan dengan Tuhan (lampung.nu.or.id).
Sementara itu, menurut Imam Muhtar (2021), tirakat dipahami sebagai jalan untuk meraih kebahagiaan hakiki. Seorang Muslim yang menempuh jalan ini rela meninggalkan gemerlap dunia demi mencapai tujuan akhirat yang abadi.
Pada malam tirakat, warga duduk bersila di pendopo, musala, atau halaman rumah. Mereka berdoa bersama, membaca tahlil, atau sekadar berbincang mengenang masa-masa getir penjajahan. Di beberapa tempat disajikan bubur merah putih, teh hangat, atau singkong rebus sebagai simbol kesederhanaan, keakraban, dan rasa syukur.
Tradisi ini mungkin tampak sederhana, bahkan kuno bagi sebagian orang. Namun, justru dalam kesederhanaannya terletak kekuatannya. Tirakat sebagai bentuk perlawanan terhadap pelupaan sejarah. Ia menjadi benteng kultural agar kemerdekaan tidak sekadar dirayakan secara seremonial, tetapi dimaknai secara mendalam dan eksistensial.
Tradisi ini, bukan milik satu agama atau kelompok tertentu, di berbagai kampung, doa-doa kemerdekaan dilantunkan dalam bahasa iman yang berbeda. Misalnya, agama Islam melalui tahlil, Kristen melalui doa malam, Hindu dengan upacara hening, atau bahkan sekadar perenungan pribadi.
Inilah wajah nasionalisme Indonesia yang sesungguhnya, tumbuh dari keberagaman spiritual, bukan dipaksakan dalam seragam ideologis. Tirakat menjadi bukti bahwa cinta tanah air dan iman bisa berjalan seiring dalam suasana yang khidmat.
Pendidikan Kewargaan
Di tengah dunia yang kian terpolarisasi oleh politik, fanatisme agama, dan krisis identitas, malam tirakat menawarkan bentuk pendidikan kewargaan (civic education) yang kontekstual dan membumi. Pendidikan kewargaan, sebagaimana dimaksud secara yuridis, bertujuan menumbuhkan rasa cinta tanah air dan semangat kebangsaan (Abdul & Sapriya, 2011).
Dalam tiraka malam 17 Agustus, tak ada ceramah panjang tentang demokrasi atau toleransi. Namun di sana, warga dari berbagai latar belakang duduk bersama, saling menyapa, berbagi kisah, dan mendengarkan satu sama lain, sebuah praktik hidup dari nilai-nilai kewargaan itu sendiri.
Anak-anak pun belajar sejarah bukan hanya dari buku, tetapi melalui kisah lisan para tetua. Mereka memahami bahwa kemerdekaan adalah hasil perjuangan panjang yang penuh pengorbanan. Nilai-nilai seperti gotong royong, kebersamaan, dan tanggung jawab sosial tidak diajarkan secara teoritis, tetapi ditanamkan lewat pengalaman langsung yang membekas dalam ingatan.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan melalui Taman Siswa menjadi relevan saat ini, taman berarti tempat bermain dan belajar, siswa berarti murid. Sebagai sekolah berbasis budaya lokal, Taman Siswa mampu bertahan lintas zaman karena pendekatannya yang membumi dan berakar pada nilai masyarakat (Kumalasari, 2010). Demikian pula dalam laku tirakat, masyarakat belajar tentang perjuangan para pendahulu dan meresapinya secara batin.
Ketika bangsa ini dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti polarisasi sosial dan degradasi moral, tradisi tirakat justru menjadi semakin relevan. Ia menawarkan alternatif cara merayakan kemerdekaan, bukan dengan hingar bingar, melainkan dengan diam, doa, dan refleksi. Ia mengajarkan bahwa menjadi merdeka tidak cukup hanya dengan sistem demokrasi, tetapi dengan berani menghadapi diri sendiri dan tulus mengabdi kepada sesama.
Pemerintah desa, sekolah, serta komunitas-komunitas budaya perlu didorong untuk merevitalisasi tradisi tirakat malam kemerdekaan sebagai bagian dari pendidikan karakter dan pelestarian budaya. Ini bukan tentang romantisasi masa lalu, melainkan tentang merawat kearifan lokal yang menyatukan dan menguatkan.
Seperti kata pujangga W.S. Rendra, "Bangsa yang besar bukan bangsa yang berteriak-teriak di jalan, tetapi bangsa yang mampu mendengarkan suara hatinya sendiri." Tirakat kemerdekaan sabagai salah satu cara kita mendengarkan suara hati Indonesia.
Editor: Abas
Fotografer: -
Terkini
Salut! Ini Upaya Kabupaten Sleman Mewujudkan Pendidikan yang Harmoni
25 Oct 2025
Berita
Memaknai Kembali 32 JP: Sebuah Gerakan Menuju Fleksibilitas dan Inovasi dalam Pelatihan ASN
24 Oct 2025
Berita
UIN SGD Bandung Buka Program Magister Baru, Siap Cetak Lulusan Unggul
23 Oct 2025
Berita
Buku Ekoteologi: Mengamalkan Dharma, Menghidupkan Ecoreligiocultural
23 Oct 2025
Opini
BMBPSDM Ingatkan Pentingnya Moderasi Beragama Bagi Para Guru dan Pengawas Lintas Agama Se-Yogyakarta
23 Oct 2025
Berita
Opini Lainnya
Buku Ekoteologi: Mengamalkan Dharma, Menghidupkan Ecoreligiocultural
23 Oct 2025
Langit Berbahasa, Langit Bercerita
22 Oct 2025
oleh Jafar Shodiq
Apologet terhadap Narasi Tunggal tentang Pesantren: Melihat dari Sejarah Kaya Kyai, Santri, dan Tradisi Asrama di Indonesia
22 Oct 2025
Menyambut Buku Ekoteologi: Merangkul Spiritualitas Interbeing Manusia dan Alam
22 Oct 2025
oleh Dewi Ayu Indah Diantiningrum
Ketika Pesantren Disalahpahami: Tafsir Tunggal di Era Digital
21 Oct 2025
oleh Firman Nugraha